Prri/Permesta

source: tirto.id
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an Sudah menimbulkan kekacauan serta pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang  politik, ekonomi serta sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi serta perdagangan hasil ekspor yang sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau Jawa dianggap tidak adil. Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian kalau Bung Karno dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia.

Pada akhir bulan Desember 1956 serta permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan serta Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan awal dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang mengungkap kalau Sumatera Utara melepaskan diri buat sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester  (PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.

Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara selaku pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung serta bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya ialah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, serta Letnan Kolonel Saleh Lahade.

Baca Juga


Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957, di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido, berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi Banteng Sumatera Tengah. Reuni  tersebut menghasilkan serta membentuk suatu badan organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M. Simbolon serta lain-lain selaku para atasan serta penggeraknya. Namun, pada 15 Februari 1958, atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek serta Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang selaku "ibukota negara" serta Mr. Syafrudin Prawiranegara selaku "Presiden PRRI".

Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, serta membawa rakyat Minangkabau buat memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta).

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin gerakan-gerakan tersebut sama, tidak lain ialah pemerintah Pusat dianggap kurang memperhatikan keadaan daerah disertai tuntutan menambah anggota kabinet dengan Mohammad Hatta serta Sri Sultan Hamengkubuwono. Menghadapi tantangan dari daerah-daerah, pemerintah Pusat memprakarsai Musyawarah Nasional di Jakarta yang berlangsung tanggal 9 hingga 11 Desember 1957. Sebagai lanjutan musyawarah tersebut, bulan Desember 1957 di Jakarta diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah-musyawarah ini tidak berhasil mendapatkan cara penyelesaian masalah daerah-daerah yang membangkang terhadap pemerintah Pusat. Kegagalan ini antara lain disebabkan tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta serta Sri Sultan Hamengkubuwono, tidak diikutsertakan dalam pimpinan pemerintahan. tidak cuma itu daerah-daerah yang bergolak melontarkan tuduhan-tuduhan kalau politik pemerintah Pusat mengarah kepada komunisme.

Para tokoh serta pentolan PRRI maupun PERMESTA mendapat bantuan serta sokongan kuat dari Imperialis Amerika Serikat yang memang tidak suka atas kepemimpinan Bung Karno. AS memberi support serta bantuan apa Saja buat PRRI/PERMESTA. Persenjataan-persenjataan modern dari Amerika, seperti LMG 12,7 MM, penangkis serangan udara, Bazooka, Granat-semi automatis, persenjataan Infantri, serta lain-lain diturunkan dari kapal terbang pengangkut AS di hutan-hutan Sumatra buat melengkapi persenjataan militer PRRI guna melawan Pemerintahan NKRI.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, serta kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan ialah selaku berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi serta berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 serta menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.

Sedangkan buat menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
-Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
-Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
-Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
-Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

Pemberontakan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Ahmad Husein akhirnya dapat dipatahkan oleh Angkatan Perang Republik Indonesia yang mengadakan “Operasi 17 Agustus” di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dalam waktu yang tidak terlalu lama, yaitu kurang lebih satu minggu. Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat itu, dengan sendirinya menimbulkan kekacauan, baik terhadap pemerintah daerah, maupun terhadap kehidupan dalam masyarakat, setelah Ahmad Husein mengambil alih fungsi Gubernur Roeslan Muljodihardjo, yang diangkat oleh pemerintah Pusat di Jakarta. Kabinet Karya yang dipimpin Ir. Djuanda memutuskan pengiriman misi yang dinamakan “Misi Pemerintah buat Normalisasi Pemerintah serta Masyarakat Sumatera Barat”. Misi Pemerintah yang dipimpin Wakil Perdana Menteri I Hardi, SH yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa menteri, pejabat-pejabat tinggi dari departemen-departemen serta beberapa perwira Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat, tiba di Padang, satu hari setelh operasi militer dianggap berhasil.

Berkat operasi militer yang cepat, niat luar negeri, khususnya Amerika Serikat buat campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia secara terbuka, dapat dihindari. Dalam iklim Perang Dingin yang tengah melanda dunia masa itu, Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, serta negara Blok Komunis lainnya bakal beraksi, Apabila Amerika Serikat bertindak terlalu jauh, serta Indonesia dapat menjadi kancah pertarungan politik dunia interansional dengan segala akibatnya bagi persatuan Indonesia. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit “Kembali ke Undang Undang Dasar 1945” serta tanggal 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Karya I dipimpin langsung oleh Presiden selaku Perdana Menteri dengan  Ir. H. Djuanda selaku Menteri pertama. Setelah diadakan reshuffle dibentuk Kabinet Karya II, tanggal 18 Februari 1960. Dr. Leimena, serta Dr. Subandrio menjadi Wakil Perdana Menteri. Pada tanggal 17 Agustus 1961, buat memelihara persatuan serta kesatuan bangsa serta negara, serta dengan pertimbangan prikemanusiaan pemerintah menempuh kebijaksanaan member pengampunan berupa amnesti serta abolisi kepada para pemberontah yang menyerah di daerah-daerah dalam abtas waktu yang ditentukan. Pemberontakan-pemberontakan di Sumatera serta Sulawesi dianggap berakhir.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel