Wahid Hasyim: Pembaharu Dari Nu
Rabu, Agustus 14, 2019
Wahid Hasyim merupakan seorang cendekiawan Islam. dia yaitu putra dari Hasyim Asyari pendiri Nadlatul Ulama. Sebagai anak kyai, Wahid Hasyim kecil hidup di lingkungan pesantren Jombang. dia mengenyam pendidikan di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Setamat dari madrasah beberapa kali masuk nyantri di pesantren. Wahid Hasyim tidak pernah belajar di sekolah binaan pemerintah Hindia Belanda, tetapi ia mahir berbahasa Inggris serta Belanda. Kemampuan itu ia pelajari secara otodidak dengan membaca majalah dari luar negeri. Wahid Hasim pernah dikirim ke Mekah pada tahun 1932 sampai 1934. tidak cuma menunaikan ibadah Haji, perjalanan ke tanah suci juga buat memperdalam ilmu agama. Beberapa tahun sekembalinya dari Mekah ia memutuskan masuk ke dalam organisasi NU.
dia membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan di lingkungan pesantren dengan memadukan pola pengajaran pesantren (berbasis agama) serta pelajaran ilmu umum. tidak cuma Bahasa Arab, murid para siswa pun dibekali Bahasa Inggris juga Belanda. Wahid Hasyim memasukkan unsur modern sebab ia menilai beberapa hal dalam pendidikan pesantren tidak lagi sesuai dengan tuntutan serta perkembangan zaman. Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan adanya perpustakaan. Pada waktu itu, perpustakaan merupakan suatu kemajuan luar biasa dalam lingkup pesantren. Wahid Hasyim mendambakan munculnya sebuah proses belajar mengajar yang dialogis. Posisi guru ditempatkan bukan lagi selaku satu-satunya sumber belajar. Proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki bakal terwujud serta ia bakal menjadi dirinya sendiri.
Dalam karier politik, Wahid Hasim pernah menjabat selaku ketua PBNU, Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). dia juga tercatat selaku Menteri Agama di tiga periode pemerintahan: Kabinet RIS (Desember 1949-Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September 1950- April 1951), serta Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952).
Wahid Hasim mempunyai sumbangsih dalam pembentukan dasar Negara Republik Indonesia. Sewaktu menjadi anggota BPUPKI, ia serta beberapa kawan berhasil merumuskan dasar Negara yang kemudian diketahui dengan nama Piagam Jakarta. Dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 22 Juni 1945, di salah satu alinea, antara lain tercantum kata-kata “ …. kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akan tetapi, rumusan ini diperdebatkan dalam sidang BPUPKI berikutnya. Wongsonegoro, misalnya, menganggap kalau anak kalimat itu bisa menimbulkan fanatisme sebab seolah-olah memaksa umat Islam menjalankan syariatnya. Akan tetapi, menurut Wahid Hasyim, kalimat tersebut tidak bakal berakibat sejauh itu. dia juga mengingatkan kalau segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah.
Pemikiran lain Wahid Hasim juga sempat mewarnai rancangan kesatu UUD. dia pernah mengusulkan agar pada Pasal 4 ayat 2 rancangan UUD disebutkan kalau yang dapat menjadi Presiden serta wakilnya yaitu orang Indonesia asli serta beragama Islam. tidak cuma itu, pada Pasal 29, Wahid Hasyim menginginkan rumusan selaku berikut: “Agama Negara yaitu Islam dengan menjamin kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain buat beribadah menurut
agamanya masing-masing.” Alasannya Kalau presidennya Islam, perintahnya bakal dengan gampang dipatuhi rakyat yang mayoritas muslim. tidak cuma itu, Islam selaku agama negara mendorong umat Islam berjuang membela negaranya. Dengan alasan itulah akhirnya, gagasan mantan Ketua Masyumi itu diterima.
Wahid Hasim meninggal pada tanggal 19 April 1953, akibat kecelakaan yang terjadi sehari sebelumnya di daerah CimahiBandung. K. H. Ir. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) mengenangnya, “Kiai Wahid yaitu seorang tokoh NU dari jenis yang tidak banyak kita temukan, yaitu pemimpin organisatoris, jenis “pekerja” bukan “pembicara”. Kiai Wahid diketahui juga selaku man of action bukan jenis man of ideas. dia juga tidak cuma pandai melontarkan gagasan,
tetapi bisa mewujudkannya”
dia membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan di lingkungan pesantren dengan memadukan pola pengajaran pesantren (berbasis agama) serta pelajaran ilmu umum. tidak cuma Bahasa Arab, murid para siswa pun dibekali Bahasa Inggris juga Belanda. Wahid Hasyim memasukkan unsur modern sebab ia menilai beberapa hal dalam pendidikan pesantren tidak lagi sesuai dengan tuntutan serta perkembangan zaman. Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan adanya perpustakaan. Pada waktu itu, perpustakaan merupakan suatu kemajuan luar biasa dalam lingkup pesantren. Wahid Hasyim mendambakan munculnya sebuah proses belajar mengajar yang dialogis. Posisi guru ditempatkan bukan lagi selaku satu-satunya sumber belajar. Proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki bakal terwujud serta ia bakal menjadi dirinya sendiri.
Dalam karier politik, Wahid Hasim pernah menjabat selaku ketua PBNU, Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). dia juga tercatat selaku Menteri Agama di tiga periode pemerintahan: Kabinet RIS (Desember 1949-Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September 1950- April 1951), serta Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952).
Baca Juga
Wahid Hasim mempunyai sumbangsih dalam pembentukan dasar Negara Republik Indonesia. Sewaktu menjadi anggota BPUPKI, ia serta beberapa kawan berhasil merumuskan dasar Negara yang kemudian diketahui dengan nama Piagam Jakarta. Dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 22 Juni 1945, di salah satu alinea, antara lain tercantum kata-kata “ …. kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akan tetapi, rumusan ini diperdebatkan dalam sidang BPUPKI berikutnya. Wongsonegoro, misalnya, menganggap kalau anak kalimat itu bisa menimbulkan fanatisme sebab seolah-olah memaksa umat Islam menjalankan syariatnya. Akan tetapi, menurut Wahid Hasyim, kalimat tersebut tidak bakal berakibat sejauh itu. dia juga mengingatkan kalau segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah.
Pemikiran lain Wahid Hasim juga sempat mewarnai rancangan kesatu UUD. dia pernah mengusulkan agar pada Pasal 4 ayat 2 rancangan UUD disebutkan kalau yang dapat menjadi Presiden serta wakilnya yaitu orang Indonesia asli serta beragama Islam. tidak cuma itu, pada Pasal 29, Wahid Hasyim menginginkan rumusan selaku berikut: “Agama Negara yaitu Islam dengan menjamin kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain buat beribadah menurut
agamanya masing-masing.” Alasannya Kalau presidennya Islam, perintahnya bakal dengan gampang dipatuhi rakyat yang mayoritas muslim. tidak cuma itu, Islam selaku agama negara mendorong umat Islam berjuang membela negaranya. Dengan alasan itulah akhirnya, gagasan mantan Ketua Masyumi itu diterima.
tetapi bisa mewujudkannya”