Dinasti Fatimiyah
Selasa, September 17, 2019
Dinasti Fathimiyah berdiri di Afrika pada tahun 296 Hijriah/909 Masehi di bawah pimpinan Ubaidullah (Al-Mahdi) yang mengaku berhak menjadi khalifah karna cucu Muhammad bin Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Berdirinya dinasti ini tidak lepas dari jasa seorang pendukung dari keturunan Ismail yang bernama Abu Abdullah asy-Syi’i serta jasa kabilah Kitamah. Dinasti ini juga bernama Dinasti Ubaidiyah.
Dinasti Fathimiyah membentang di Barat wilayah Dinasti Idrisiyah serta Rustamiyah serta beribu kota di Mahdiyah. Dinasti Fathimiyah di Afrika selalu mengincar wilayah Timur serta berencana menguasai Mesir, lalu beralih ke Baghdad serta mewarisi Dinasti Abbasiyah.
Kematian Kafur al-Ikhsyidi di Mesir membuka pintu bagi pasukan Ubaidiyah buat memasukinya. Jauhar ash-Shaqli, panglima pasukan Al-Muizz Lidillah, memasuki Fustat pada tahun 358 Hijriah/968 Masehi serta mendirikan kota Kairo. Empat tahun kemudian, Dinasti Ubaidiyah berpindah dengan seluruh anggotanya ke Kairo, ibu kota yang baru. Di Kairolah Dinasti Ubaidiyah berganti nama menjadi Dinasti Fathimiyah.
Pada tahun 359 Hijriah/969 Masehi, Fathimiyah sudah menguasai Suriah bagian Selatan. Khalifah Abbasiyah, Al-Muqtadir Billah, terlihat tidak mampu menghalangi berdirinya dinasti ini. Bahkan, sang khalifah pernah membuat maklumat yang isinya menyangsikan keabsahan nasab AlMahdi. Sayangnya, hal itu malah membangkitkan kemarahan anak-cucu Hasyim, termasuk anak-cucu Ali.
Meski diterpa pro-kontra nasab, mereka berhasil menghidupkan keagungan serta mengangkat harkat martabat. Namun, hal itu cuma terjadi sebentar. Panglima-panglima dinasti ini lemah sehingga ikut menggoyahkan para menteri yang kuat. Keagungan dinasti menjadi pudar akibat perpecahan di dalam negeri serta akhirnya runtuh.
Kemunduran tersebut dimulai pada periode AlHakim Biamrillah karna tindakannya yang buruk, berani menghancurkan Gereja Qiyamat di Al-Quds, yang menjadi salah satu sebab terjadinya Perang Salib. Kemunduran itu kian hebat pada periode Al-Mustanshir Billah. Ia terlahir dari seorang sahaya wanita yang terdidik di rumah seorang Yahudi bernama Abu Said at-Tustari. Sang ibu ikut menguasai urusan pemerintahan serta mengangkat beberapa menteri Yahudi, termasuk Shadaqah bin Yusuf al-Falahi serta Abu Said at-Tustari. Menterimenteri tersebut memberikan kedudukan kepada orang-orang seagamanya sehingga kaum muslimin menjadi lemah.
Pada periode Al-Mustanshir Billah, Fathimiyah diusir oleh Dinasti Saljuk dari Suriah. Fathimiyah juga diusir dari Sicilia oleh bangsa Norman di bawah pimpinan Roger pada tahun 461 Hijriah/ 1068 Masehi. tidak cuma itu, muncul wabah penyakit yang dianggap paling lama di Abad Pertengahan, mulai tahun 446 sampai 454 Hijriah. Wabah yang oleh ahli sejarah disebut selaku tahun-tahun paling berat itu disertai dengan perang di dalam negeri. Untunglah Al-Mustanshir memanggil Badr al-Jamali, penguasa ‘Aka, buat menuntaskan perang dalam negeri. Mesir pun kembali menjadi aman serta damai.
Al-Mustanshir menikahi putri Badr serta mendapatkan putra bernama Al-Musta’li. Ketika wafat pada tahun 487 Hijriah/1094 Masehi setelah memerintah selama enam puluh tahun, putra Mustanshir yang bernama Nizar mengklaim diri selaku khalifah. Memang, sebelum wafat AlMustanshir sudah menunjuk dia selaku putra mahkota. Namun, Al Afdhal bin Badr al-Jamali yang mengganti ayahnya menjadi panglima perang lebih suka Al- Musta’li, yang tidak lain keponakan Al-Afdhal sendiri. Hal itu menyebabkan Nizar terbunuh.
Kematian Nizar membuat anak-cucu Ismail terpecah menjadi dua kelompok, yakni kelompok Musta’liyah serta kelompok Nizariyah. Pada periode Al-Musta’li, Perang Salib dimulai di negeri Suriah. Kaum Salib menduduki Baitul Maqdis pada tahun 493 Masehi/1099 Masehi. Setelah Al Musta’li masih ada beberapa khalifah lagi pada Dinasti Fathimiyah. Ada yang berakhir diturunkan dari takhta serta ada pula yang dibunuh. Sampai akhirnya, Shalahuddin al-Ayyubi meruntuhkan Dinasti Fathimiyah serta mendirikan Dinasti Ayyubiyyah pada tahun 564 Hijriah/1168 Masehi buat Dinasti Abbasiyah.
Dinasti Fathimiyah membentang di Barat wilayah Dinasti Idrisiyah serta Rustamiyah serta beribu kota di Mahdiyah. Dinasti Fathimiyah di Afrika selalu mengincar wilayah Timur serta berencana menguasai Mesir, lalu beralih ke Baghdad serta mewarisi Dinasti Abbasiyah.
Kematian Kafur al-Ikhsyidi di Mesir membuka pintu bagi pasukan Ubaidiyah buat memasukinya. Jauhar ash-Shaqli, panglima pasukan Al-Muizz Lidillah, memasuki Fustat pada tahun 358 Hijriah/968 Masehi serta mendirikan kota Kairo. Empat tahun kemudian, Dinasti Ubaidiyah berpindah dengan seluruh anggotanya ke Kairo, ibu kota yang baru. Di Kairolah Dinasti Ubaidiyah berganti nama menjadi Dinasti Fathimiyah.
Pada tahun 359 Hijriah/969 Masehi, Fathimiyah sudah menguasai Suriah bagian Selatan. Khalifah Abbasiyah, Al-Muqtadir Billah, terlihat tidak mampu menghalangi berdirinya dinasti ini. Bahkan, sang khalifah pernah membuat maklumat yang isinya menyangsikan keabsahan nasab AlMahdi. Sayangnya, hal itu malah membangkitkan kemarahan anak-cucu Hasyim, termasuk anak-cucu Ali.
Meski diterpa pro-kontra nasab, mereka berhasil menghidupkan keagungan serta mengangkat harkat martabat. Namun, hal itu cuma terjadi sebentar. Panglima-panglima dinasti ini lemah sehingga ikut menggoyahkan para menteri yang kuat. Keagungan dinasti menjadi pudar akibat perpecahan di dalam negeri serta akhirnya runtuh.
Kemunduran tersebut dimulai pada periode AlHakim Biamrillah karna tindakannya yang buruk, berani menghancurkan Gereja Qiyamat di Al-Quds, yang menjadi salah satu sebab terjadinya Perang Salib. Kemunduran itu kian hebat pada periode Al-Mustanshir Billah. Ia terlahir dari seorang sahaya wanita yang terdidik di rumah seorang Yahudi bernama Abu Said at-Tustari. Sang ibu ikut menguasai urusan pemerintahan serta mengangkat beberapa menteri Yahudi, termasuk Shadaqah bin Yusuf al-Falahi serta Abu Said at-Tustari. Menterimenteri tersebut memberikan kedudukan kepada orang-orang seagamanya sehingga kaum muslimin menjadi lemah.
Pada periode Al-Mustanshir Billah, Fathimiyah diusir oleh Dinasti Saljuk dari Suriah. Fathimiyah juga diusir dari Sicilia oleh bangsa Norman di bawah pimpinan Roger pada tahun 461 Hijriah/ 1068 Masehi. tidak cuma itu, muncul wabah penyakit yang dianggap paling lama di Abad Pertengahan, mulai tahun 446 sampai 454 Hijriah. Wabah yang oleh ahli sejarah disebut selaku tahun-tahun paling berat itu disertai dengan perang di dalam negeri. Untunglah Al-Mustanshir memanggil Badr al-Jamali, penguasa ‘Aka, buat menuntaskan perang dalam negeri. Mesir pun kembali menjadi aman serta damai.
Al-Mustanshir menikahi putri Badr serta mendapatkan putra bernama Al-Musta’li. Ketika wafat pada tahun 487 Hijriah/1094 Masehi setelah memerintah selama enam puluh tahun, putra Mustanshir yang bernama Nizar mengklaim diri selaku khalifah. Memang, sebelum wafat AlMustanshir sudah menunjuk dia selaku putra mahkota. Namun, Al Afdhal bin Badr al-Jamali yang mengganti ayahnya menjadi panglima perang lebih suka Al- Musta’li, yang tidak lain keponakan Al-Afdhal sendiri. Hal itu menyebabkan Nizar terbunuh.
Kematian Nizar membuat anak-cucu Ismail terpecah menjadi dua kelompok, yakni kelompok Musta’liyah serta kelompok Nizariyah. Pada periode Al-Musta’li, Perang Salib dimulai di negeri Suriah. Kaum Salib menduduki Baitul Maqdis pada tahun 493 Masehi/1099 Masehi. Setelah Al Musta’li masih ada beberapa khalifah lagi pada Dinasti Fathimiyah. Ada yang berakhir diturunkan dari takhta serta ada pula yang dibunuh. Sampai akhirnya, Shalahuddin al-Ayyubi meruntuhkan Dinasti Fathimiyah serta mendirikan Dinasti Ayyubiyyah pada tahun 564 Hijriah/1168 Masehi buat Dinasti Abbasiyah.