Ketika Raffles Merebut Kraton Yogyakarta
Rabu, September 25, 2019
Stamford Raffles. Seorang pegawai dari East India Company yang diperintahkan buat berkuasa atas wilayah jajahan Belanda yang telah direbut Inggris pada September 1811. Orang banyak mengingat jasa-jasanya dalam biologi serta budaya, tetapi sedikit catatan sejarah mengenai apa yang sebenarnya ia lakukan di Indonesia selama kurang lebih 5 tahun.
Akan tetapi, Raffles bukanlah seorang "pahlawan" yang serta merta mengadakan hal-hal baik bagi Indonesia. ia menyerang Kraton Jogjakarta, merebut Palembang, merebut Pulau Bangka serta menyebabkan kekacauan dengan sistem sewa tanah miliknya. Akan tetapi, dalam post ini saya bakal membahas secara khusus mengenai serangan Inggris pada Kraton Yogyakarta.
> Latar Belakang
Beberapa bulan setelah direbutnya jajahan Belanda dan, secara tidak langsung, Perancis oleh Inggris, administrasi Inggris menemukan korespondensi antara Susuhunan Surakarta serta Sultan Yogyakarta. Sang Susuhunan mencoba buat mempengaruhi Sultan agar memberontak melawan Inggris.
Anehnya, Raffles memutuskan buat menyerang Yogyakarta, bukan Surakarta, padahal jelas kalau sang Susuhunan yang memulai korespondensi ini. Mungkin sahaja keputusan ini dipengaruhi oleh wilayah serta pengaruh Yogyakarta yang lebih besar. Apapun itu, pada 17 Juni 1812, pasukan Inggris sampai di benteng lama Belanda di Yogayakarta.
Pasukan Inggris cuma berjumlah 1200 orang, campuran antara prajurit Inggris serta sepoy India, sementara pasukan Kraton berjumlah 11 ribu orang. Akan tetapi, pasukan Kraton juga mempunyai meriam serta senapan, walaupun jumlah meriam milik Kraton lebih sedikit serta tidak sebagus milik Inggris.
Dengan sampainya seribu dua ratus pasukan Inggris di bawah komando Rollo Gillespie, pertempuran antara dua kerajaan yang terpisah beberapa ribu kilometer jauhnya bakal dimulai.
> Pertempuran
Pada 17 Juni, pasukan Inggris sampai serta membombardir Kraton dari benteng Belanda itu. Pasukan Kraton juga balas menembak menggunakan meriam-meriam miliknya. Selama tiga hari, tembak-menembak antara pasukan-pasukan ini terjadi.
Pada hari yang keempat, pada 20 Juni, pasukan Inggris berhenti menembak serta menyerang secara tiba-tiba, dengan Gillespie selaku pemimpin serangan serta Raffles yang menjaga benteng Belanda.
Sebelum serangan Inggris sampai pada dinding-dinding Kraton, keadaan di dalam Kraton sudah kacau. Walau Belanda telah berurusan dengan orang Jawa selama lebih dari berpuluh-puluh tahun, permasalahan selalu berakhir dengan perjanjian serta pakta, bukan dengan peperangan.
Serangan tersebut terbukti ampuh. Walau pada awalnya pasukan Kraton dapat menahan serangan Inggris, dikala redcoat Inggris serta sepoy India memasuki dinding Kraton, perlawanan dari pasukan Kraton pun hilang serta kekacauan merebak.
Sang pangeran, anak dari sang Sultan, ditemukan meringkuk di pintu gerbang Taman Sari yang digembok. Beberapa pasukan Kraton bertahan dalam masjid Kraton serta seorang prajurit Kraton berhasil melukai Gillespie sendiri, walau setelah itu si prajurit tersebut tertembak dikepalanya, atau menurut Gillespie, "kepalanya meletus".
Pertahanan di masjid tersebut dibungkam dengan beberapa tembakan meriam serta pasukan Inggris memasuki Kraton Dalam serta menagkap sang Sultan, menggiringnya lewat Alun-Alun, membawanya ke benteng Belanda serta memasukkannya ke sebuah ruangan di balik benteng.
> Dampak-dampak
Terhitung 23 pasukan Inggris serta India meninggal serta 76 lainnya terluka, sementara beribu-ribu orang Jawa meninggal. Tentu saja, setelah kemenangan tersebut, penjarahan massal dimulai, oleh prajurit Inggris serta India.
Setidaknya 20 ribu pound berbentuk emas, perhiasan serta barang berharga lainnya dijarah, atau sekitar satu juta dollar dalam mata uang sekarang. Untungnya, emas serta perhiasan Kraton selamat serta dikembalikan kepada sang pangeran serta hampir tidak ada pemerkosaan* yang terjadi, walau cukup banyak manuskrip serta catatan berharga dalam Kraton diambil Raffles serta dibawa ke Inggris.
Sang pangeran dimahkotai selaku Sultan Hamengkubuwono III di benteng Belanda, bukan di Kraton, serta sebuah perjanjian ditulis mengenai pengakuan Yogyakrta atas "supremasi Pemerintah Inggris atas Pulau Jawa".
Sultan yang lama, Hamengkubuwono II**, diasingkan ke Penang, serta salah satu dari saudaranya yang bernama Notokusumo berpihak pada Inggris, sehingga ia diberikan kekuasaan atas tiga ribu rumah tangga, bagaikan sebuah kerajaan dalam kerajaan, serta diberikan nama "Pakualam". Raffles pun kembali ke pesisir utara Jawa pada 23 Juni.
Menurut Raffles, “The blow which has been struck at Djocjo Carta has afforded so decisive a proof to the Native Inhabitants of Java of the strength and determination of the British Government, that they now for the first time know their relative situation and importance. The European power is now for the first time paramount in Java.”
jika saya simpulkan, Raffles kurang lebih menulis, "Pukulan yang diberikan di 'Djocjo Carta' menjadi bukti pada orang asli Jawa atas kekuatan Pemerintah Inggris. Kekuatan Eropa di Jawa menjadi tidak tertandingi."
Diponegoro, anak dari Sultan Hamengkubuwono III, bakal memberontak pada tahun 1820an, melawan Belanda. Pada dikala serangan di tahun 1812 ini, ia berusia 26 tahun. sudah pasti serangan Inggris ini berdampak pada persepsi Diponegoro mengenai orang Eropa.
> Sumber OA Historypedia Line
Akan tetapi, Raffles bukanlah seorang "pahlawan" yang serta merta mengadakan hal-hal baik bagi Indonesia. ia menyerang Kraton Jogjakarta, merebut Palembang, merebut Pulau Bangka serta menyebabkan kekacauan dengan sistem sewa tanah miliknya. Akan tetapi, dalam post ini saya bakal membahas secara khusus mengenai serangan Inggris pada Kraton Yogyakarta.
> Latar Belakang
Beberapa bulan setelah direbutnya jajahan Belanda dan, secara tidak langsung, Perancis oleh Inggris, administrasi Inggris menemukan korespondensi antara Susuhunan Surakarta serta Sultan Yogyakarta. Sang Susuhunan mencoba buat mempengaruhi Sultan agar memberontak melawan Inggris.
Anehnya, Raffles memutuskan buat menyerang Yogyakarta, bukan Surakarta, padahal jelas kalau sang Susuhunan yang memulai korespondensi ini. Mungkin sahaja keputusan ini dipengaruhi oleh wilayah serta pengaruh Yogyakarta yang lebih besar. Apapun itu, pada 17 Juni 1812, pasukan Inggris sampai di benteng lama Belanda di Yogayakarta.
Pasukan Inggris cuma berjumlah 1200 orang, campuran antara prajurit Inggris serta sepoy India, sementara pasukan Kraton berjumlah 11 ribu orang. Akan tetapi, pasukan Kraton juga mempunyai meriam serta senapan, walaupun jumlah meriam milik Kraton lebih sedikit serta tidak sebagus milik Inggris.
Dengan sampainya seribu dua ratus pasukan Inggris di bawah komando Rollo Gillespie, pertempuran antara dua kerajaan yang terpisah beberapa ribu kilometer jauhnya bakal dimulai.
> Pertempuran
Pada 17 Juni, pasukan Inggris sampai serta membombardir Kraton dari benteng Belanda itu. Pasukan Kraton juga balas menembak menggunakan meriam-meriam miliknya. Selama tiga hari, tembak-menembak antara pasukan-pasukan ini terjadi.
Pada hari yang keempat, pada 20 Juni, pasukan Inggris berhenti menembak serta menyerang secara tiba-tiba, dengan Gillespie selaku pemimpin serangan serta Raffles yang menjaga benteng Belanda.
Sebelum serangan Inggris sampai pada dinding-dinding Kraton, keadaan di dalam Kraton sudah kacau. Walau Belanda telah berurusan dengan orang Jawa selama lebih dari berpuluh-puluh tahun, permasalahan selalu berakhir dengan perjanjian serta pakta, bukan dengan peperangan.
Serangan tersebut terbukti ampuh. Walau pada awalnya pasukan Kraton dapat menahan serangan Inggris, dikala redcoat Inggris serta sepoy India memasuki dinding Kraton, perlawanan dari pasukan Kraton pun hilang serta kekacauan merebak.
Sang pangeran, anak dari sang Sultan, ditemukan meringkuk di pintu gerbang Taman Sari yang digembok. Beberapa pasukan Kraton bertahan dalam masjid Kraton serta seorang prajurit Kraton berhasil melukai Gillespie sendiri, walau setelah itu si prajurit tersebut tertembak dikepalanya, atau menurut Gillespie, "kepalanya meletus".
Pertahanan di masjid tersebut dibungkam dengan beberapa tembakan meriam serta pasukan Inggris memasuki Kraton Dalam serta menagkap sang Sultan, menggiringnya lewat Alun-Alun, membawanya ke benteng Belanda serta memasukkannya ke sebuah ruangan di balik benteng.
> Dampak-dampak
Terhitung 23 pasukan Inggris serta India meninggal serta 76 lainnya terluka, sementara beribu-ribu orang Jawa meninggal. Tentu saja, setelah kemenangan tersebut, penjarahan massal dimulai, oleh prajurit Inggris serta India.
Setidaknya 20 ribu pound berbentuk emas, perhiasan serta barang berharga lainnya dijarah, atau sekitar satu juta dollar dalam mata uang sekarang. Untungnya, emas serta perhiasan Kraton selamat serta dikembalikan kepada sang pangeran serta hampir tidak ada pemerkosaan* yang terjadi, walau cukup banyak manuskrip serta catatan berharga dalam Kraton diambil Raffles serta dibawa ke Inggris.
Sang pangeran dimahkotai selaku Sultan Hamengkubuwono III di benteng Belanda, bukan di Kraton, serta sebuah perjanjian ditulis mengenai pengakuan Yogyakrta atas "supremasi Pemerintah Inggris atas Pulau Jawa".
Sultan yang lama, Hamengkubuwono II**, diasingkan ke Penang, serta salah satu dari saudaranya yang bernama Notokusumo berpihak pada Inggris, sehingga ia diberikan kekuasaan atas tiga ribu rumah tangga, bagaikan sebuah kerajaan dalam kerajaan, serta diberikan nama "Pakualam". Raffles pun kembali ke pesisir utara Jawa pada 23 Juni.
Menurut Raffles, “The blow which has been struck at Djocjo Carta has afforded so decisive a proof to the Native Inhabitants of Java of the strength and determination of the British Government, that they now for the first time know their relative situation and importance. The European power is now for the first time paramount in Java.”
jika saya simpulkan, Raffles kurang lebih menulis, "Pukulan yang diberikan di 'Djocjo Carta' menjadi bukti pada orang asli Jawa atas kekuatan Pemerintah Inggris. Kekuatan Eropa di Jawa menjadi tidak tertandingi."
Diponegoro, anak dari Sultan Hamengkubuwono III, bakal memberontak pada tahun 1820an, melawan Belanda. Pada dikala serangan di tahun 1812 ini, ia berusia 26 tahun. sudah pasti serangan Inggris ini berdampak pada persepsi Diponegoro mengenai orang Eropa.
> Sumber OA Historypedia Line