Tuanku Imam Bonjol: Ulama Penentang Adat Serta Belanda
Selasa, September 17, 2019
Mulanya, di Minangkabau, Sumatra Barat terjadi selisih mengerti antara kaum adat serta kaum padri atau ulama. Kerenggangan tersebut muncul karna golongan padri menentang pelbagai kegiatan yang kerap dilakukan kaum adat. Kegiatan tersebut dianggap tak sesuai dengan nilai agama, seperti sabung ayam, madat, minuman keras, serta lain-lain. Konfl ik membesar hingga dua golongan saudara tersebut saling serang pada 1815. Kaum adat terdesak serta memilih lari. Enam tahun kaum adat terusir dari tanah asalnya, guna merebut kembali mereka kemudian meminta bantuan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada April 1821 golongan adat plus pasukan Belanda versus kaum padri kembali bentrok.
Dalam fase ini muncul nama Tuanku Imam Bonjol yang merupakan pimpinan tinggi dalam Perang Padri periode 1821- 1837. Gelar Tuanku yakni sebuah jabatan yang diberikan kepada guru-guru atau pemangku agama di Sumatra Barat. Nama asli Imam Bonjol yakni Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. dia yakni pemimpin yang paling populer dalam gerakan padri, Tuanku Imam Bonjol menentang pendudukan Belanda di Sumatra Barat serta sekitarnya.
Karena sama-sama kuat, Belanda, kaum adat serta padri sepakat mengadakan gencatan senjata yang ditandai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tahun 1824. Paska perjanjian ini orang padri serta adat kembali, tetapi Belanda malah melanggar perjanjian dengan menyerang Negeri Pandai Sikat. Sejak 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat serta kaum Paderi yang di pimpin Tuanku Imam Bonjol serta wilayah pusat di Bonjol melawan Pemerintah Hindia Belanda.
Perang berkecamuk, pada bulan September 1832 Bonjol diduduki Belanda, tetapi tiga bulan kemudian direbut kembali oleh orang-orang Paderi. Lagi-lagi pasukan Belanda menyerang Bonjol dari tiga jurusan, tetapi gagal. Pertempuran pasukan Imam Bonjol dengan Belanda berlangsung sengit sampai-sampai pihak Belanda membuat blockade dari kumpulan pasukan. Berikut laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Padri: Pengepungan serta Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal serta para perwira Belanda, tetapi sebagian besar pasukan terdiri atas pelbagai bagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, serta Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda yakni Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz , serta seterusnya. Adapun nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, serta Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Padri.
Begitu kuatnya pertahanan Imam Bonjol sampai Belanda perlu mengerahkan banyak bala pasukan. Pada 1834 wilayah Bonjol dikepung serta diisolasi dari pelbagai arah. Kedudukan Imam Bonjol bertambah sulit, tetapi ia masih mampu bertahan hingga sekira tiga tahun. Tanggal 16 Agustus 1837, Imam Bonjol diundang ke Palupuh buat berunding. Tiba di tempat tersebut, ia langsung ditangkap serta dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipindahkan ke Ambon serta akhirnya ke Lotan dekat Manado. Di tempat terakhir itu, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia tepatnya tanggal 8 November 1864 serta dimakamkan di sana. Di Jakarta, namanya diabadikan di poros utama Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro dengan Bundaran HI.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
Dalam fase ini muncul nama Tuanku Imam Bonjol yang merupakan pimpinan tinggi dalam Perang Padri periode 1821- 1837. Gelar Tuanku yakni sebuah jabatan yang diberikan kepada guru-guru atau pemangku agama di Sumatra Barat. Nama asli Imam Bonjol yakni Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin. dia yakni pemimpin yang paling populer dalam gerakan padri, Tuanku Imam Bonjol menentang pendudukan Belanda di Sumatra Barat serta sekitarnya.
Karena sama-sama kuat, Belanda, kaum adat serta padri sepakat mengadakan gencatan senjata yang ditandai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tahun 1824. Paska perjanjian ini orang padri serta adat kembali, tetapi Belanda malah melanggar perjanjian dengan menyerang Negeri Pandai Sikat. Sejak 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat serta kaum Paderi yang di pimpin Tuanku Imam Bonjol serta wilayah pusat di Bonjol melawan Pemerintah Hindia Belanda.
Perang berkecamuk, pada bulan September 1832 Bonjol diduduki Belanda, tetapi tiga bulan kemudian direbut kembali oleh orang-orang Paderi. Lagi-lagi pasukan Belanda menyerang Bonjol dari tiga jurusan, tetapi gagal. Pertempuran pasukan Imam Bonjol dengan Belanda berlangsung sengit sampai-sampai pihak Belanda membuat blockade dari kumpulan pasukan. Berikut laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Padri: Pengepungan serta Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal serta para perwira Belanda, tetapi sebagian besar pasukan terdiri atas pelbagai bagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, serta Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda yakni Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz , serta seterusnya. Adapun nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, serta Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Padri.
Begitu kuatnya pertahanan Imam Bonjol sampai Belanda perlu mengerahkan banyak bala pasukan. Pada 1834 wilayah Bonjol dikepung serta diisolasi dari pelbagai arah. Kedudukan Imam Bonjol bertambah sulit, tetapi ia masih mampu bertahan hingga sekira tiga tahun. Tanggal 16 Agustus 1837, Imam Bonjol diundang ke Palupuh buat berunding. Tiba di tempat tersebut, ia langsung ditangkap serta dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipindahkan ke Ambon serta akhirnya ke Lotan dekat Manado. Di tempat terakhir itu, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia tepatnya tanggal 8 November 1864 serta dimakamkan di sana. Di Jakarta, namanya diabadikan di poros utama Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro dengan Bundaran HI.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional