Kerajaan Perlak: Kerajaan Islam Awal Di Nusantara
Selasa, September 17, 2019
Perlak yang terletak di Aceh Timur disebut selaku kerajaan Islam awal (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hal itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Namun demikian, kitab yang dijadikan sumber satu-satunya tersebut juga menyisakan keraguan. Sebagian sejarawan meragukan keabsahan dari kitab tersebut, apalagi kitab yang diperlihatkan dalam sebuah seminar penetapan kalau Perlak itu kerajaan Islam awal di Nusantara tersebut bukan dalam bentuk asli serta sudah tidak utuh lagi, melainkan cuma lembaran lepas.
Kitab itu sendiri masih misteri, karna sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya sehingga ada yang berkata kalau kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak cuma satu rekayasa sejarah buat menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu, Perlak ialah benar-benar kerajaan Islam awal di Aceh serta Nusantara. Banyak peneliti sejarah yang secara kritis meragukan Perlak selaku tempat awal berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh.
Hal itu juga diperkuat dengan belum ditemukannya artefak-artefak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam awal di Aceh serta Nusantara ialah Kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya, seperti mata uang dirham Pasai serta batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan Kerajaan Islam Samudra Pasai. Keraguan para sejarawan tentang Kerajaan Perlak selaku bekas kerajaan Islam awal yang cuma mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak perlu ditelaah lebih jauh lagi. Namun demikian, pembahasan tentang Kerajaan Perlak kali ini bukanlah perdebatan tentang status ketertuaan Kerajaan Perlak di Nusantara, melainkan uraian tentang Kerajaan Perlak itu sendiri selaku sebuah kerajaan Islam yang bersejarah serta selaku bukti kalau Islam dikala itu sudah memiliki akar kuat buat menancapkan pengaruh serta ajaran-ajarannya di Nusantara.
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang populer selaku penghasil kayu Perlak yang merupakan kayu yang berkualitas bagus buat bahan baku pembuatan kapal. Tak mengherankan kalau para pedagang dari Gujarat, Arab, serta India tertarik buat datang ke wilayah Perlak.
Karena banyak disinggahi oleh para pedagang, pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang selaku bandar niaga yang amat maju. Hal ini tidak terlepas dari letak yang strategis pula di ujung utara pulau Sumatra atau berada di bibir masuk selat Malaka. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat. Dengan demikian, realitas seperti itu mendorong perkembangan Islam yang pesat serta pada akhirnya memunculkan Kerajaan Islam Perlak selaku kerajaan Islam di Nusantara.
Perlak ialah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karna bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejarah Kerajaan Perlak tidak terlepas dari cerita seorang Sayid Maulana Ali Al-Muktabar yang datang ke Perlak beserta orang-orang Arab dari Bani Hasyim atau keturunan Rasulullah saw lainnya yang datang ke Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Mereka datang ke Aceh dalam rangka menggelar perdagangan sekaligus menyiarkan agama Islam. Mereka kemudian berbaur serta menikah dengan penduduk setempat.
Seperti diketahui dalam sejarah Islam, setelah masa AlKhulara Al-Rasyidun berakhir, secara politik muncullah dua dinasti besar, yakni Dinasti Umayyah serta Dinasti Abbasiyah. Berangkat dari perbedaan politik, pada waktu yang sama, muncul pula banyak aliran pemahaman serta pengamalan Islam, seperti aliran Sunni, Syiah, Khawarij serta lain sebagainnya. Sementara itu, Dinasti Umayyah serta Abbasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abi halib yang juga menantu Rasulullah saw. Oleh karna itu, tidak mengherankan aliran Syiah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syiah terpaksa perlu menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada masa Khalifah AlMakmun bin Harun Al-Rasyid (167-219 H/813-833M), salah satu keturunan Ali bin Abi halib di Mekkah yang bernama Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq menentang pemerintahan yang berpusat di Baghdad. Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq ialah Imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah saw. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah saw ialah selaku berikut: Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq bin Muhammad AlBaqir bin Ali Muhammad Zain Al-Abidin bin Husain Al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad saw.
Khalifah Al-Makmun akhirnya mengirim pasukan ke Mekkah buat meredakan pemberontakan kaum Syiah yang di pimpin oleh Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq tersebut. Kaum pemberontak dapat ditumpas, namun Muhamad bin Ja’far AlShadiq serta para penganutnya tidak dibunuh, tetapi disarankan oleh Khalifah Al-Makmun buat berhijrah serta menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara, serta daerah sekitarnya. Sebagai tindak lanjut, maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang kemudian hari diketahui di Aceh dengan sebutan “Nakhoda Khalifah” yang memiliki misi menyebarkan Islam.
Salah satu anggota dari Nakhoda Khalifah itu ialah Sayid Ali Al-Muktabar bin Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Al-Shadiq. Menurut kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, pada tahun 173 H (800 M), Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang dai yang terdiri atas orang-orang Arab dari suku Quraisy, Palestina, Persia, serta India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah. Mereka datang buat berdagang sekaligus sambil berdakwah. Setiap orang memiliki keterampilan khusus baik di bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi, taktik perang, maupun keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai di Perlak, rombongan Nakhoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk serta penguasa Perlak yang berkuasa dikala itu, yakni Meurah Syahir Nuwi. Dengan cara dakwah yang sangat menarik, akhirnya Meurah Syahir Nuwi memeluk agama Islam sehingga menjadi penguasa awal yang menganut Islam di Perlak. Di sisi lain, sambil berdakwah, mereka juga menularkan keahlian itu kepada penduduk lokal secara perlahan-lahan buat diterapkan dalam kehidupan mereka.
Kegiatan-kegiatan ini rupanya menarik penduduk lokal sehingga seiring berjalannya waktu, mereka tertarik masuk Islam secara suka rela. Sebagian serta anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal, termasuk Sayid Ali Al-Muktabar yang menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Putri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini dikala dewasa dinobatkan menjadi sultan awal Kerajaan Islam Perlak, bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H.
Dengan berdirinya Kerajaan Islam Perlak, kian banyak orang Arab yang datang buat berdagang, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni. Mereka Selain berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam yang mereka yakini. Kalangan Sunni memengaruhi elite lokal yang juga masih kerabat istana Perlak. Sementara itu, kedua aliran ini (Syiah serta Sunni) terus menyebarkan pengaruhnya hingga sampai pada perebutan kekuasaan serta perlawanan terbuka yang terjadi pada masa sultan Perlak keempat, yakni Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M). Perebutan akhirnya dimenangkan pihak Sunni sekaligus menandai keruntuhan Dinasti Sayid atau Aziziyah serta lahirnya Dinasti Makhdum. Dengan demikian, sultan kelima Perlak sekaligus sultan awal dari kalangan Sunni ialah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (918-922 M).
Untuk stabilitas Perlak, golongan Syiah diangkat menjadi perdana menteri. Wakil Syiah Maulana Abdullah pun diangkat menjadi perdana menteri oleh sultan Perlak keenam, yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (922-946 M). Sultan Muhammad Amin Syah sendiri ialah seorang ulama besar sekaligus pengasuh pondok pesantren Cot Kala. Namun demikian, ternyata pengangkatan Maulana Abdullah selaku perdana menteri belum mampu meredam perlawanan kaum Syiah sampai akhirnya terjadi perang saudara pada masa sultan ketujuh, yakni pada masa kekuasaan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (946-973 M).
Perang ini berlangsung sampai empat tahun serta baru berakhir setelah dibuat perjanjian damai yang diketahui dengan Perjanjian Alue Meuh pada tanggal 10 Muharram 353 H. Perjanjian tersebut mengatur pembagian Perlak menjadi dua: Perlak Baroh (berpusat di Bandar Khalifah) dengan wilayah di pesisir pantai diserahkan kepada Dinasti Aziziyah serta Perlak Tunong dengan wilayah di pedalaman diserahkan kepada Dinasti Makhdum. Sejak dikala itu, tercapailah perdamaian antara kedua aliran tersebut serta Islam kian menyebar di Sumatra bagian utara. Namun demikian, Islam Syiah tidak berkembang karna Perlak Baroh dihancurkan Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986. Pada dikala itu, Perlak Baroh dipimpin Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah (976-988). Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah juga meninggal dalam usaha mempertahankan kerajaannya. Kerajaan Perlak Tunong yang dikuasai kaum Sunni selamat karna Sriwijaya terpaksa perlu menarik mundur pasukannya dari Perlak karna mendapat ancaman dari Dharma Bangsa serta Jawa.
Islam Sunni terus berkembang bahkan pada zaman Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (1012- 1059 M) menyatukan kedua wilayah Perlak tersebut dalam satu bendera Perlak. Bahkan gerakana Sunni berhasil mengislamkan Raja Lingga, Adi Genali, lewat utusannya yang bernama Syekh Sirajuddin.
Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan kerajaan Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang awal ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225–249 H/840–964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz tersebut pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Sementara itu, kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan Islam serta perluasan dakwah Islam.
Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malik Al-Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang). Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malik Al-Dhahir, putra Sultan Malik Al-Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Para Sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah serta Dinasti Johan Berdaulat. Di bawah ini merupakan nama-nama sultan yang memerintah Kerajaan Perlak:
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 – 932) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 – 956) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 – 983) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 – 1023) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 – 1059) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur (1059 – 1078) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 – 1109) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 – 1135) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1135 – 1160) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 – 1200) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 – 1230) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 – 1267) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 – 1292). berpaham sunni
Kitab itu sendiri masih misteri, karna sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya sehingga ada yang berkata kalau kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak cuma satu rekayasa sejarah buat menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu, Perlak ialah benar-benar kerajaan Islam awal di Aceh serta Nusantara. Banyak peneliti sejarah yang secara kritis meragukan Perlak selaku tempat awal berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh.
Hal itu juga diperkuat dengan belum ditemukannya artefak-artefak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam awal di Aceh serta Nusantara ialah Kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya, seperti mata uang dirham Pasai serta batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan Kerajaan Islam Samudra Pasai. Keraguan para sejarawan tentang Kerajaan Perlak selaku bekas kerajaan Islam awal yang cuma mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak perlu ditelaah lebih jauh lagi. Namun demikian, pembahasan tentang Kerajaan Perlak kali ini bukanlah perdebatan tentang status ketertuaan Kerajaan Perlak di Nusantara, melainkan uraian tentang Kerajaan Perlak itu sendiri selaku sebuah kerajaan Islam yang bersejarah serta selaku bukti kalau Islam dikala itu sudah memiliki akar kuat buat menancapkan pengaruh serta ajaran-ajarannya di Nusantara.
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang populer selaku penghasil kayu Perlak yang merupakan kayu yang berkualitas bagus buat bahan baku pembuatan kapal. Tak mengherankan kalau para pedagang dari Gujarat, Arab, serta India tertarik buat datang ke wilayah Perlak.
Karena banyak disinggahi oleh para pedagang, pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang selaku bandar niaga yang amat maju. Hal ini tidak terlepas dari letak yang strategis pula di ujung utara pulau Sumatra atau berada di bibir masuk selat Malaka. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat. Dengan demikian, realitas seperti itu mendorong perkembangan Islam yang pesat serta pada akhirnya memunculkan Kerajaan Islam Perlak selaku kerajaan Islam di Nusantara.
Perlak ialah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karna bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejarah Kerajaan Perlak tidak terlepas dari cerita seorang Sayid Maulana Ali Al-Muktabar yang datang ke Perlak beserta orang-orang Arab dari Bani Hasyim atau keturunan Rasulullah saw lainnya yang datang ke Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Mereka datang ke Aceh dalam rangka menggelar perdagangan sekaligus menyiarkan agama Islam. Mereka kemudian berbaur serta menikah dengan penduduk setempat.
Seperti diketahui dalam sejarah Islam, setelah masa AlKhulara Al-Rasyidun berakhir, secara politik muncullah dua dinasti besar, yakni Dinasti Umayyah serta Dinasti Abbasiyah. Berangkat dari perbedaan politik, pada waktu yang sama, muncul pula banyak aliran pemahaman serta pengamalan Islam, seperti aliran Sunni, Syiah, Khawarij serta lain sebagainnya. Sementara itu, Dinasti Umayyah serta Abbasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abi halib yang juga menantu Rasulullah saw. Oleh karna itu, tidak mengherankan aliran Syiah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syiah terpaksa perlu menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada masa Khalifah AlMakmun bin Harun Al-Rasyid (167-219 H/813-833M), salah satu keturunan Ali bin Abi halib di Mekkah yang bernama Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq menentang pemerintahan yang berpusat di Baghdad. Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq ialah Imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah saw. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah saw ialah selaku berikut: Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq bin Muhammad AlBaqir bin Ali Muhammad Zain Al-Abidin bin Husain Al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad saw.
Khalifah Al-Makmun akhirnya mengirim pasukan ke Mekkah buat meredakan pemberontakan kaum Syiah yang di pimpin oleh Muhammad bin Ja’far Al-Shadiq tersebut. Kaum pemberontak dapat ditumpas, namun Muhamad bin Ja’far AlShadiq serta para penganutnya tidak dibunuh, tetapi disarankan oleh Khalifah Al-Makmun buat berhijrah serta menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara, serta daerah sekitarnya. Sebagai tindak lanjut, maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang kemudian hari diketahui di Aceh dengan sebutan “Nakhoda Khalifah” yang memiliki misi menyebarkan Islam.
Salah satu anggota dari Nakhoda Khalifah itu ialah Sayid Ali Al-Muktabar bin Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Al-Shadiq. Menurut kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, pada tahun 173 H (800 M), Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang dai yang terdiri atas orang-orang Arab dari suku Quraisy, Palestina, Persia, serta India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah. Mereka datang buat berdagang sekaligus sambil berdakwah. Setiap orang memiliki keterampilan khusus baik di bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi, taktik perang, maupun keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai di Perlak, rombongan Nakhoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk serta penguasa Perlak yang berkuasa dikala itu, yakni Meurah Syahir Nuwi. Dengan cara dakwah yang sangat menarik, akhirnya Meurah Syahir Nuwi memeluk agama Islam sehingga menjadi penguasa awal yang menganut Islam di Perlak. Di sisi lain, sambil berdakwah, mereka juga menularkan keahlian itu kepada penduduk lokal secara perlahan-lahan buat diterapkan dalam kehidupan mereka.
Kegiatan-kegiatan ini rupanya menarik penduduk lokal sehingga seiring berjalannya waktu, mereka tertarik masuk Islam secara suka rela. Sebagian serta anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal, termasuk Sayid Ali Al-Muktabar yang menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Putri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini dikala dewasa dinobatkan menjadi sultan awal Kerajaan Islam Perlak, bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H.
Dengan berdirinya Kerajaan Islam Perlak, kian banyak orang Arab yang datang buat berdagang, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni. Mereka Selain berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam yang mereka yakini. Kalangan Sunni memengaruhi elite lokal yang juga masih kerabat istana Perlak. Sementara itu, kedua aliran ini (Syiah serta Sunni) terus menyebarkan pengaruhnya hingga sampai pada perebutan kekuasaan serta perlawanan terbuka yang terjadi pada masa sultan Perlak keempat, yakni Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M). Perebutan akhirnya dimenangkan pihak Sunni sekaligus menandai keruntuhan Dinasti Sayid atau Aziziyah serta lahirnya Dinasti Makhdum. Dengan demikian, sultan kelima Perlak sekaligus sultan awal dari kalangan Sunni ialah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (918-922 M).
Untuk stabilitas Perlak, golongan Syiah diangkat menjadi perdana menteri. Wakil Syiah Maulana Abdullah pun diangkat menjadi perdana menteri oleh sultan Perlak keenam, yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (922-946 M). Sultan Muhammad Amin Syah sendiri ialah seorang ulama besar sekaligus pengasuh pondok pesantren Cot Kala. Namun demikian, ternyata pengangkatan Maulana Abdullah selaku perdana menteri belum mampu meredam perlawanan kaum Syiah sampai akhirnya terjadi perang saudara pada masa sultan ketujuh, yakni pada masa kekuasaan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (946-973 M).
Perang ini berlangsung sampai empat tahun serta baru berakhir setelah dibuat perjanjian damai yang diketahui dengan Perjanjian Alue Meuh pada tanggal 10 Muharram 353 H. Perjanjian tersebut mengatur pembagian Perlak menjadi dua: Perlak Baroh (berpusat di Bandar Khalifah) dengan wilayah di pesisir pantai diserahkan kepada Dinasti Aziziyah serta Perlak Tunong dengan wilayah di pedalaman diserahkan kepada Dinasti Makhdum. Sejak dikala itu, tercapailah perdamaian antara kedua aliran tersebut serta Islam kian menyebar di Sumatra bagian utara. Namun demikian, Islam Syiah tidak berkembang karna Perlak Baroh dihancurkan Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986. Pada dikala itu, Perlak Baroh dipimpin Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah (976-988). Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah juga meninggal dalam usaha mempertahankan kerajaannya. Kerajaan Perlak Tunong yang dikuasai kaum Sunni selamat karna Sriwijaya terpaksa perlu menarik mundur pasukannya dari Perlak karna mendapat ancaman dari Dharma Bangsa serta Jawa.
Islam Sunni terus berkembang bahkan pada zaman Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (1012- 1059 M) menyatukan kedua wilayah Perlak tersebut dalam satu bendera Perlak. Bahkan gerakana Sunni berhasil mengislamkan Raja Lingga, Adi Genali, lewat utusannya yang bernama Syekh Sirajuddin.
Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan kerajaan Samudra Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang awal ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225–249 H/840–964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz tersebut pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Sementara itu, kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan Islam serta perluasan dakwah Islam.
Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malik Al-Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang). Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malik Al-Dhahir, putra Sultan Malik Al-Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Para Sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah serta Dinasti Johan Berdaulat. Di bawah ini merupakan nama-nama sultan yang memerintah Kerajaan Perlak:
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913) berpaham sunni
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 – 932) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 – 956) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 – 983) berpaham syiah
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 – 1023) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 – 1059) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur (1059 – 1078) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 – 1109) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 – 1135) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1135 – 1160) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 – 1200) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 – 1230) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 – 1267) berpaham sunni
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 – 1292). berpaham sunni
Pergolakan
Pergolakan pada Kerajaan Perlak lebih dipengaruhi oleh adanya perbedaan aliran Islam antara Sunni dengan Syiah. Perbedaan ini Telah berlangsung lama, tatkala Dinasti Umayyah serta Abbasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abi halib.
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni serta Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara serta pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syiah datang ke Indonesia lewat para pedagang dari Gujarat, Arab, serta Persia. Mereka masuk awal kali lewat Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari Dinasti Fatimiyah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syiah di pantai Sumatra dengan kelompok Syiah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Selanjutnya Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail buat pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya ialah melenyapkan pengikut Syiah di Kesultanan Perlak serta Kerajaan Samudra Pasai.
Sebagai informasi tambahan, raja awal Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malik Al-Saleh berpindah agama, awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Karena bujukan Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut mengerti Syaii yang identik dengan alirah Sunni. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya serta Bawa Kaya juga menganut mengerti Syaii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin serta Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa, Marah Silu diketahui selaku raja yang sangat anti terhadap pemikiran serta pengikut Syiah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah sultan meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah serta Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan selaku sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah serta Sunni, cuma Sahaja buat kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, serta terjadilah pergolakan lagi antara kelompok Syiah serta Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya iktikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian, Perlak Pesisir (Syiah) yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986-988) serta Perlak Pedalaman (Sunni) yang dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali dikala salah satu dari kedua pemimpin wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal. dia meninggal dikala Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya cuma menguasai Perlak di pedalaman kemudian ditetapkan selaku Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. dia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Penggabungan dengan Kerajaan Samudra Pasai
Setelah perdamaian antara kaum Sunni serta Syiah, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan menggelar politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga buat memperkuat kekuatan guna menghadapi serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sultan juga menikahkan dua putrinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga. Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Syah (Parameswara) serta Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudra Pasai, Malik Al-Saleh. Kesultanan Perlak berakhir setelah sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292.
Kesultanan Perlak pun pada akhirnya menyatu dengan Kerajaan Samudra Pasai di bawah kekuasaan Samudera Pasai yang memerintah pada dikala itu, Sultan Muhammad Malik AlDhahir yang juga merupakan putra dari Malik Al-Saleh. Pada masa ini, berakhirlah Kerajaan Perlak.
sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam oleh Binuko Amarseto