Akar Konflik Arab-Israel
Sabtu, Oktober 12, 2019
Konflik Arab-Israel merupakan suatu fenomena modern, yang berujung pangkal pada akhir abad ke-20. Konflik tersebut menjadi menjadi suatu masalah besar internasional dengan lahirnya negara Israel pada tahun 1948. Konflik yang menyebabkan paling tidak lima perang besar serta sejumlah konflik yang lebih kecil, termasuk dua intifada(pembrontakan) Palestina ini makin kompleks karna diwarnai dengan klaim-klaim keagamaan.
Ketegangan antara orang Yahudi serta Arab mulai muncul setelah dekade 1880-an, dikala imigrasi orang Yahudi Eropa meningkat sejalan dengan perkembangan gerakan Zionisme, sebuah gerakan politik yang menginginkan pendirian sebuah negara Yahudi di tanah leluhurnya. Imigrasi ini meningkatkan jumlah penduduk Yahudi di Palestina: pada tahun 1880, cuma empat persen dari sekitar 590.000 penduduk Palestina yang berasal dari kaum Yahudi serta menjadi sekitar 85.000 orang pada dikala Perang Dunia I pecah. Karena itu, sejak kesatu imigrasi Yahudi ini ditentang oleh orang-orang Arab, karna dianggap mengancam kekuasaan mereka atas tanah Palestina.
Konflik meningkat dikala Perang Dunia I pecah serta Turki, yang mengusai Palestina, memihak Jerman. Untuk merongrong kekuasaan Ottoman, Inggris menjajikan sebuah negara Arab Raya Kalau orang Arab bersedia membantu mereka melawan Turki. Namun pada dikala yang bersamaa, melalui Deklarasi Balfour, Inggris menjanjikan sebuah "Tanah Air" Yahudi di Palestina Kalau orang Yahudi bersedia membantu mereka melawan kekuatan Sentral.
Ternyata, Inggris tidak menepati kedua janji itu setelah menang perang. Alih-alih memperoleh sebuah negara Arab Raya, Inggris serta Prancis memecah-belah Timur Tengah di antara mereka, dimana Palestina dijadikan sebuah negara Permandatan. Untuk menenangkan orang Arab serta menjaga kepentingan nasionalnya, Inggris kemudian mendirikan Kerajaan Transyordan di bawah Dinasti Hashemite yang mencakup 77 persen wilayah Permandatan Palestina serta menolak dominasi orang Yahudi di sisa wilayah Palestina. Akibatnya, timbul konflik segitiga orang Inggris, Arab, serta Yahudi, yang sering kali memakan korban jiwa.
Ketika konflik makin memanas setelah Perang Dunia II, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian selaku upaya buat memecahkan konflik. Sementara orang Yahudi menerimanya, orang Arab menolaknya. Akibat, dikala negara Israel diproklamasikan setelah kekuasaan Inggris berakhir, pecahlah Perang Arab-Israel Pertama tahun 1948.
Perang berakhir dengan kekalahan Arab serta tetap berdirinya negara Israel. Namun perang tersebut tidak diakhiri dengan suatu perdamaian. Sebaliknya, kedua kubu tetap berhadapan selaku musuh serta bersiap melanjutkan peperangan babak berikutnya.
Sumber: Enam Hari Yang Mengguncang Dunia, Nino Oktorino
Ketegangan antara orang Yahudi serta Arab mulai muncul setelah dekade 1880-an, dikala imigrasi orang Yahudi Eropa meningkat sejalan dengan perkembangan gerakan Zionisme, sebuah gerakan politik yang menginginkan pendirian sebuah negara Yahudi di tanah leluhurnya. Imigrasi ini meningkatkan jumlah penduduk Yahudi di Palestina: pada tahun 1880, cuma empat persen dari sekitar 590.000 penduduk Palestina yang berasal dari kaum Yahudi serta menjadi sekitar 85.000 orang pada dikala Perang Dunia I pecah. Karena itu, sejak kesatu imigrasi Yahudi ini ditentang oleh orang-orang Arab, karna dianggap mengancam kekuasaan mereka atas tanah Palestina.
Konflik meningkat dikala Perang Dunia I pecah serta Turki, yang mengusai Palestina, memihak Jerman. Untuk merongrong kekuasaan Ottoman, Inggris menjajikan sebuah negara Arab Raya Kalau orang Arab bersedia membantu mereka melawan Turki. Namun pada dikala yang bersamaa, melalui Deklarasi Balfour, Inggris menjanjikan sebuah "Tanah Air" Yahudi di Palestina Kalau orang Yahudi bersedia membantu mereka melawan kekuatan Sentral.
Ternyata, Inggris tidak menepati kedua janji itu setelah menang perang. Alih-alih memperoleh sebuah negara Arab Raya, Inggris serta Prancis memecah-belah Timur Tengah di antara mereka, dimana Palestina dijadikan sebuah negara Permandatan. Untuk menenangkan orang Arab serta menjaga kepentingan nasionalnya, Inggris kemudian mendirikan Kerajaan Transyordan di bawah Dinasti Hashemite yang mencakup 77 persen wilayah Permandatan Palestina serta menolak dominasi orang Yahudi di sisa wilayah Palestina. Akibatnya, timbul konflik segitiga orang Inggris, Arab, serta Yahudi, yang sering kali memakan korban jiwa.
Ketika konflik makin memanas setelah Perang Dunia II, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian selaku upaya buat memecahkan konflik. Sementara orang Yahudi menerimanya, orang Arab menolaknya. Akibat, dikala negara Israel diproklamasikan setelah kekuasaan Inggris berakhir, pecahlah Perang Arab-Israel Pertama tahun 1948.
Perang berakhir dengan kekalahan Arab serta tetap berdirinya negara Israel. Namun perang tersebut tidak diakhiri dengan suatu perdamaian. Sebaliknya, kedua kubu tetap berhadapan selaku musuh serta bersiap melanjutkan peperangan babak berikutnya.
Sumber: Enam Hari Yang Mengguncang Dunia, Nino Oktorino