Sebuah Kajian Tentang Kemunduran Serta Keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah
Senin, Oktober 14, 2019
Kemunduran yang dialami oleh Kekhalifahan Utsmaniyah di sepanjang abad ke-19 sampai pada berdirinya Republik Turki di awalan abad ke-20 pada tahun 1924. Perjalanan ini diwarnai oleh intrik dinasti, ketelatan dalam memodernisasi birokrasi serta industri, perang di setiap wilayah perbatasan wilayah kekuasaan, serta pemberontakan yang terjadi di wilayah jajahannya seperti di Yunani yang terjadi di antara tahun 1821 sampai 1830.
Merupakan sebuah keharusan bagi penulis buat merangkai artikel ini dengan niatan memperkenalkan bahan pertimbangan serta argumentasi kepada para pembaca mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar kemerosotan perlahan yang terjadi pada Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini penulis lakukan buat memberikan anti-tesis terhadap informasi-informasi yang banyak didistribusikan pada waktu peringatan pembubaran Khilafah Utsmaniyah yang terjadi setiap tanggal 3 pada bulan Maret.
Informasi-informasi yang tersebar menyediakan narasi yang bias dengan penjabaran yang condong memperkenalkan pembahasan adanya sebuah konspirasi besar terhadap Kekhilafahan Utsmaniyah serta menyalahkan kemunduran tersebut secara keseluruhan kepada kekuatan-kekuatan Barat, Gerakan Turki Muda, gerakan-gerakan nasionalis, serta Mustafa Kemal Atatürk selaku penyebab utama; terkadang selaku penyebab satu-satunya yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini meninggalkan sedikit ruang buat penalaran serta pendalaman multi-dimensional buat mencari serta mempertimbangkan penyebab yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah yang berasal dari dalam Kekhilafahan itu sendiri. Atas dasar ini, penulis didorong buat memperkenalkan artikel ini.
Ketika diadakan kajian serta pendalaman mengenai 124 tahun terakhir kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, perlu dipertimbangkan kalau Kekhilafahan ini menghadapi mermacam permasalahan yang datang dari internal Khilafah maupun eksternal, seperti: ketidakmampuan Negara Utsmaniyah buat mengadakan reformasi birokrasi serta modernisasi buat menyamai kecepatan tahap perkembangan teknologi serta politik saingannya di Eropa, perang yang terjadi secara terus-menerus selama tujuh atau delapan abad–jika menghitung jeda di antara Perang Krimea serta Perang Rusia-Turki yang terjadi pada tahun 1877 sampai 1878, pemberontakan yang terjadi sebab ketidakpuasaan terhadap kemunduran birokrasi serta ekonomi seperti yang dikobarkan oleh Mesir di bawah gubernur Muhammad Ali; atau sebab perbedaan mazhab agama seperti yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saud serta Muhammad bin Abdul Wahab pada Perang Wahabi yang terjadi pada tahun 1811 sampai 1818, kebangkitan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan-jajahannya seperti di daerah Balkan serta Levant, serta tuntutan reformasi dalam bentuk konstitusi serta republikanisme oleh kalangan kaum muda yang berkeinginan buat memperkuat Negara Utsmaniyah serta menghentikan stagnasi yang terjadi.
Perjalanan dari kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah awalnya ialah bangkitnya kesadaran bangsa Arab di Mesir serta Suriah bakal kondisi mereka yang terbelakang dibanding negara-negara Eropa dalam bidang sosial serta saintek. Kesadaran ini timbul dikala pasukan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte menyerbu Mesir pada yahun 1798 serta mengikutsertakan sebuah Misi Kebudayaan buat menyebarkan semangat Revolusi Perancis. Nilai-nilai humanisme serta ide-ide pencerahan yang dibawa oleh Napoleon disambut dengan pertentangan dari warga serta cendekiawan Mesir sebab tidak sesuai dengan ajaran Islam, meski demikian, para cendekiawan muslim seperti Abdurrahman al-Jabarti serta Al-Thahthawi menyadari urgensi dunia Islam serta bangsa Arab buat mengejar tingkat saintek serta perkembangan ilmu sosial yang dicapai oleh bangsa Eropa agar tetap mampu bersaing.
Setelah pasukan Perancis berhasil dikalahkan oleh pasukan Utsmaniyah dengan bantuan Inggris, Mesir dipimpin oleh gubernur yang dipilih secara terkenal oleh rakyat Mesir, yaitu seorang pria asal Albania yang bernama Muhammad Ali. Mesir dikala itu meski merupakan jajahan Utsmaniyah, merupakan wilayah Arab kesatu yang berada di bawah jajahan Utsmaniyah yang memodernisasi serta berhasil dalam melaksanakan hal tersebut. Pencerahan iptek yang dibawa oleh Misi Kebudayaan Perancis menghilangkan kepercayaan diri bangsa Arab serta warga di bawah kekuasaan Utsmaniyah yang selama ini menggangap kalau diri mereka ialah peradaban paling maju di bumi. Hilangnya kepercayaan diri ini mendorong Muhammad Ali buat mengirim pelajar ke negara-negara Eropa buat mempelajari teknologi, ilmu pengetahuan, strategi militer, serta secara tidak sengaja juga membawa ide-ide sosial-politik yang nantinya bakal memulai 'Al-Nahda' atau renaisans kebudayaan yang terjadi di wilayah jajahan Utsmaniyah di Suriah, Mesir, serta dunia Arab.
Antara 1813 sampai 1849, Muhammad Ali mengirimkan mahasiswa ke negara-negara Eropa serta menghabiskan biaya sebesar £E 273.360. Para mahasiswa memelajari secara spesifik: strategi militer, teknik mesin, kedokteran, farmasi, kesenian, serta kerajinan; para cendekiawan seperti Al-Thahthawi meneliti gejala sosial yang tengah melanda negara-negara Eropa yang pada dikala itu tengah mengalami perubahan kekuasaan dari absolutisme raja-raja menjadi monarki konstitusional serta republikanisme. Al-Thahthawi menerjemahkan Konstitusi Perancis 1814 sebanyak 74 pasal serta menuliskan jurnal yang memihak pada pengikutsertaan suara rakyat yang diatur oleh konstitusi serta hukum pada urusan pengambilan keputusan serta pembuatan kebijakan negara. Para mahasiswa membawa kembali dari negara-negara Eropa buku-buku berbahasa asing, serta Muhammad Ali mendirikan sebuah biro penerjemahan buat menerjemahkan serta mempermudah pengenalan ilmu-ilmu baru ini kepada masyarakat Mesir. Tindakan-tindakan ini membuka kembali pintu ijtihad, yang nantinya bakal menginspirasi Tanzimat.
'Al-Nahda' yang menjalar ke dunia cendekiawan serta akademisi Arab ini tidak diterima dengan baik oleh kaum penguasa Utsmaniyah yang tidak menggangap indah prospek ijtihad. Hal ini menghambat laju modernisasi serta restrukturisasi birokrasi Negara Utsmaniyah sehingga bisa dibilang tertinggal oleh Mesir. Bangsa Arab telah merasakan bumbu-bumbu konstitusionalisme, hukum yang terkodifikasi serta egaliter, birokrasi yang tersusun, serta semangat humanisme serta sikap menghargai semua bangsa tanpa diskriminasi, tentunya mereka tidak bakal terus menunjukan sikap jinak mereka terhadap Konstantinopel serta perlahan menuntut konsesi yang adil di bawah kekuasaan Utsmaniyah, hal ini bakal mencapai puncaknya dikala Pemberontakan Arab Besar diproklamasikan oleh Wangsa Hasyimiyah di Hijaz pada tahun 1916.
Abad ke-19 bukanlah abad yang ringan bagi Kekhilafahan Utsmaniyah, propagasi ide-ide baru seperti nasionalisme serta pelaksanaan agama yang puritan mengancam integritas wilayah Utsmaniyah. Dimulai dari abad ke-18, wilayah jajahan Utsmaniyah di Arab serta Afrika Utara diberi otonomi lebih dari masa-masa sebelumnya, hal ini dimaksudkan buat menambah efisiensi birokrasi, pemungutan pajak, serta perekrutan tentara. Namun para penguasa Arab lokal belum siap secara mental buat diberikan otonomi, hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik serta kebobrokan ekonomi seperti di Mesir. Permasalahan ini nantinya bakal menjadi bibit kemerosotan pengaruh serta wilayah Utsmaniyah di Timur Tengah serta Afrika Utara dikala pemerintah pusat Utsmaniyah yang diberi nama 'Porte Agung' tidak mampu mengatasi masalah ini. Permasalahan ini diperparah dengan skema-skema politik yang ambigu mengenai kebijakan geopolitik wilayah vasal mereka di Timur Tengah.
Pada tahun 1821 kaum revolusioner Yunani memberontak terhadap kekuasaan Utsmaniyah, Porte menjanjikan kepada penguasa Mesir, gubernur Muhammad Ali wilayah kekuasaan di Suriah kalau bersedia membantu upaya perang Utsmaniyah di Yunani. Meski memperoleh hasil yang memuaskan di awal-awal perang, intervensi Inggris serta Perancis atas desakan dari rakyat mereka yang–merasa miris dengan kekejaman koalisi Utsmaniyah-Mesir– berhasil mengalahkan pasukan Utsmaniyah serta menghancurkan angkatan laut Mesir. Ketika perang berakhir, Muhammad Ali menuntut kembali janji yang diberikan oleh Sultan Mahmud II buat memberi wilayah Suriah. Sultan Mahmud II menolak permintaan sang gubernur serta membawa negara beliau ke dalam api peperangan kembali. Dalam keadaan marah serta kecewa, Muhammad Ali mengutus anaknya; Ibrahim Pasya buat memimpin 30.000 pasukan dengan persenjataan modern buat menyerang Utsmaniyah, peperangan ini merupakan keberhasilan besar bagi pasukan Mesir. Sultan Mahmud II menyerah kepada tuntutan Muhammad Ali dikala beliau mendengar kalau pasukan Mesir sudah mencapai Kota Konya.
Keberhasilan Mesir pada Perang Mesir-Utsmaniyah 1831-1833 tidak memuaskan ambisi Muhammad Ali. Beliau memimpikan sebuah Kerajaan Mesir merdeka yang merembet dari Sudan ke Suriah beserta penguasaan penuh atas wilayah Hijaz yang merupakan tempat dua kota suci; Makkah serta Madinah. Dalam rangka memenuhi ambisi beliau, Muhammad Ali kembali mengobarkan perang melawan Sultan, namun kali ini Inggris yang khawatir bakal runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah serta menyaksikan hadirnya kekuatan modern yang baru yaitu Mesir yang dekat dengan saingannya yaitu Perancis, membantu Kekhilafahan Utsmaniyah serta dengan koalisi ini, Muhammad Ali berhasil dikalahkan. Dalam Konvensi London yang diadakan pada tahun 1840, Muhammad Ali diberikan kuasa penuh atas Mesir serta Sudan serta diberikan hak buat mendirikan dinasti yang diberi hak khusus buat memerintah Mesir yang semi-merdeka mewakili Porte.
Perang Mesir-Utsmaniyah Kedua yang berkobar pada tahun 1839-1841 sangat melemahkan pemerintahan serta wibawa Kekhilafahan Utsmaniyah. Kekuatan-kekuatan di Eropa memberikan penamaan "Sick Man of Europe" dengan melihat kondisi miris yang dihadapi oleh pemerintahan Utsmaniyah. Menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abdulmejid I memulai Tanzimat atau 'reorganisasi' buat memperkuat serta memodernisasi Kekhilafahan Utsmaniyah. Dokumen kesatu Tanzimat berisi tujuan-tujuan dasar yaitu: memastikan "Keamanan yang sempurna bagi kehidupan, kehormatan, serta properti" bagi seluruh rakyat Utsmaniyah; membangun "Sebuah sistem penilaian pajak reguler": serta reformasi dinas militer.
Tanzimat dilakukan buat memperkuat birokrasi serta administrasi Kekhilafahan Utsmaniyah yang bobrok. telah merupakan keharusan bagi negara-negara yang mengupayakan modernisasi dikala itu buat juga mengenalkan reformasi administrasi seperti penyederhanaan serta pemerataan hukum, serta pendataan penduduk buat membangun birokrasi yang efisien, dengan ini hukum yang terkodifikasi serta egaliter beserta konstitusi dikenalkan kepada kehidupan Utsmaniyah.
Tentunya reformasi-reformasi tersebut ditentang oleh kaum agamawan serta rakyat beragama Suni Utsmaniyah yang relijius. Hal ini terjadi akibat minimnya sosialisasi serta perencanaan matang yang kemudian reformasi-reformasi ini diperkenalkan secara spontan kepada masyarakat yang dogmatis serta telah lama tidak berijtihad serta berinovasi dalam bidang sosial-politik Tak sampai tahun 1850an serta 1860an efek dari Tanzimat mulai terasa dikala muncul gerakan-gerakan pemuda yang progresif seperti 'Utsmani Muda' serta mencapai puncak pergerakan reformasi dengan munculnya 'Turki Muda' yang menggulingkan Sultan Abdul Hamid II–yang memerintah dengan absolutisme–pada tahun 1908
Organisasi-organisasi pemuda ini beranggotakan mahasiswa-mahasiswa Utsmaniyah yang memelajari kedokteran serta ketentaraan, para elit-elit muda ini setelah belajar ke Eropa beranggapan kalau rahasia di balik kesuksesan negara-negara di Eropa ialah pemerintahan yang kuat yang ditopang oleh organisasi politik yang teratur serta terorganisir serta hadirnya kekuasaan yang konstitusional. Mereka kecewa dengan ketidakstabilan politik yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdulaziz. Pergerakan reformis beranggapan kalau Sultan pengganti Sultan Murad yaitu Sultan Abdul Hamid II bakal bekerjasama dengan 'Utsmani Muda', serta beliau pada masa awal-awal pemerintahan memang bekerjasama dengan para reformis dalam mendirikan pemerintahan yang konstitusional serta mempunyai parlemen, namun beberapa ketidaksepakatan beliau dengan parlemen serta dihadapkan dengan disintegrasi wilayah Utsmaniyah akibat pemberontakan nasionalis serta peperangan dengan Rusia–atas polemik minoritas Kristen di Lebanon serta Palestina yang di mana Utsmaniayah dibantu oleh Perancis serta Inggris–membuat beliau membubarkan parlemen serta menangguhkan konstitusi.
Hal tersebut serta peralihan kepada absolutisme di bawah Sultan Abdul Hamid II mengecewakan kaum reformis serta berujung dengan Kudeta Turki Muda pada tahun 1908 yang digerakan oleh 'Komite buat Persatuan serta Kemajuan' yang berisikan anggota-anggota Turki Muda serta 'Partai Kebebasan serta Kesesuaian' yang dipimpin oleh salah satunya anggota dari Dinasti Osman sendiri yaitu Sultanzade Sebahaddin. Dua kekuatan ini beserta pergerakan kecil lainnya yang tergabung di bawah 'Uni Liberal' beraspirasi buat mengembalikan konstitusi serta mendirikan parlemen kembali yang telah ditangguhkan oleh Sultan Abdul Hamid II.
Nasionalisme merupakan sebuah pedang yang menghunus ke dua arah bagi Kekhalifahan Utsmaniyah; di satu sisi perlu dipahami kalau Utsmaniyah dalam perjalanannya selaku kekuatan imperial mempunyai wilayah kedaulatan plural yang multi-etnis serta multi-nasional, didiami bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Armenia, bangsa Kurdi, bangsa Slavia, serta mermacam minoritas seperti minoritas Druze di Lebanon. Nasionalisme ialah ide yang menginspirasi bangsa-bangsa ini buat memberontak melawan Utsmaniyah serta membangun rasa kebangsaan sendiri. Hal ini menjadikan wilayah Balkan yang didiami oleh bangsa Slavia; setelah menemukan jati diri bangsa mereka, bersatu melawan Utsmaniyah pada Perang Balkan Pertama pada tahun 1912-1913.
Di sisi yang lain, bangsa Turki yang mempunyai pemikiran seperti Tiga Pasya: Talaat, Djemal, serta Enver menyadari kalau buat memperkuat Negara Utsmaniyah serta mempertahankan dominasi bangsa Turki dalam perpolitikan Utsmaniyah maka perlu menyuarakan juga semangat kebangsaan Turki. Gerakan Turki Muda yang dipimpin oleh Triumverat Pasya di awal abad ke-20an melalui Komite buat Persatuan serta Kemajuan bekerja buat mensentralisasi kekuasaan politik ke Istanbul serta secara perlahan men-"Turkifikasi" penduduk multi-budaya di wilayah Utsmaniyah.
Upaya Turkifikasi budaya mereka yang berada di wilayah jajahan membangkitkan kembali semangat Al-Nahda yang dimulai di Mesir. Aspirasi nasionalisme serta modernisasi bangsa Arab yang diwariskan oleh tokoh-tokoh seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani serta Syaikh Muhammad Abduh beserta ingatan bakal pemberontakan tokoh-tokoh reformis seperti Saad Zaghlul di Mesir kembali bergema di kalangan bangsa Arab. Namun pada awal masa pergerakannya, para nasionalis Arab terpaksa berkumpul secara rahasia serta dengan memperhatikan kehati-hatian yang tinggi, sebab Utsmaniyah di bawah pimpinan Triumverat Pasya gencar membungkam oposisi-oposisi politik bahkan sekutu lamanya di Partai Kebebasan serta Kesesuaian; para nasionalis Arab tidak lepas dari pembungkaman serta sensor pemerintah. Membutuhkan sebuah percikan agar pergerakan nasioanl Arab dapat naik ke permukaan dinamika politik. Percikan ini ialah pecahnya Perang Dunia 1 serta bergabungnya Utsmaniyah di sisi Kekuatan Poros.
Kengerian yang membayangi tragedi kemanusiaan di Armenia serta tindakan Djemal Pasya di Suriah serta Lebanon terhadap tokoh-tokoh pro-kemerdekaan Arab membuahkan sensasi paranoia serta kekhawatiran di kalangan bangsa Arab di Levant, Mesopotamia, serta Hijaz. Djemal menjatuhkan tuduhan penghianatan tingkat tinggi kepada sejumlah tokoh di Suriah serta Lebanon. Sebuah pengadilan militer didirikan di Lebanon pada tahun 1915, dalam waktu setahun, puluhan orang digantung di Beirut serta Damaskus, serta menjebloskan ratusan orang lainnya ke penjara, serta ribuan orang diasingkan. Tindakan ini yang memberikan gelar "al-Saffah" atau "penumpah darah" kepada Djemal Pasya meyakinkan lebih banyak orang Arab buat memerdekakan diri.
Sebuah ucapan disampaikan oleh Presiden Liga Progres Lebanon, Naroum Mokarzel pada tahun 1913 dalam Kongres Arab di Paris kalau revolusi yang bakal terjadi perlu merupakan revolusi literasi serta reformasi, serta kalau kekerasan cuma merupakan pilihan terakhir. Namun pada tahun 1916, Wangsa Hasyimiyah di Hijaz dipimpin oleh Sharif Hussein bin Ali yang dibantu oleh Inggris melalui Korespondensi Hussein-McMahon; didorong oleh rasa takut terhadap prospek bakal terjadinya pembantaian terhadap orang Arab seperti yang terjadi di Armenia memilih buat mengobarkan perang serta mengambil pilihan pertumpahan darah. Wangsa Hasyimiyah juga mengadakan hal tersebut sebab menggangap kalau Turki Muda serta Triumverat Pasya dalam upaya mereformasi Utsmaniyah sudah melenceng dari Islam.
Di dikala yang sama seorang perwira asal Thessaloniki yang merupakan veteran Perang Italia-Utsmaniyah di Italia pada tahun 1911-1912 mencetak prestasi militer di medan pertempuran, beliau merupakan tokoh instrumental dalam kemenangan Utsmaniyah di Galipoli melawan Sekutu serta dikala Utsmaniyah mulai kalah dalam perang, beliau mengupayakan evakuasi pasukan Utsmaniyah dari Mesopotamia serta Suriah menuju Anatolia. Beliau nantinya bakal menjadi Presiden Republik Turki yang petama, nama beliau ialah Mustafa Kemal. Seorang ahli strategi militer serta negarawan, beliau tidak berdiam diri dikala Sultan Utsmaniyah melewati delegasi yang dikirim ke Sèvres menyetujui pengucilan wilayah Utsmaniyah serta memaksakan Utsmaniyah buat membayar biaya yang mahal akibat keikutsertaan mereka serta agresi mereka pada tahun 1914. Perjanjian Sèvres membagi wilayah Asia Minor menjadi zona yang diadministrasi oleh Yunani, Perancis, serta Italia; menyisihkan wilayah buat Armenia serta Negara Kurdi. Utsmaniyah cuma dibatasi pada kantong kecil di utara Anatolia; serta keuangan Utsmaniyah dikendalikan oleh para pemenang perang melewati OPDA–yang diperkuat, Administrasi Utang Umum Utsmaniyah yang didirikan pada masa Sultan Abdul Hamid II buat mengurus pembayaran utang Utsmaniyah ke negara-negara serta perusahaan di Eropa.
Mustafa Kemal mendirikan Majelis Agung Nasional bersama kaum nasionalis serta mengobarkan perang kemerdekaan melawan tentara asing di wilayah Turki serta Kekhilafahan Utsmaniyah yang tidak berdaya yang tergabung dalam koalisi tentara sekutu selama tiga tahun. Beliau berhasil mengusir tentara Yunani dsri Izmir, hal ini merupakan kemenangan penting bagi kaum nasionalis, kemudian pada tanggal 3 Maret 1924 memasuki Istanbul serta membubarkan Negara Utsmaniyah serta mengasingkan Dinasti Osman. Keberhasilan Mustafa Kemal dalam mengupayakan kemerdekaan Turki memberikan kepada beliau nama kehormatan "Atatürk" atau "Bapak bangsa Turki" serta memaksa para pemenang Perang Dunia 1 buat kembali ke meja perundingan. Perjanjian Lausanne yang dirumuskan setelah Perang Kemeedekaan Turki membentuk perbatasan Turki modern serta menghapus banyak dari sanksi yang dijabarkan sebelumnya dalam Perjanjian Sèvres. Meski sesama kaum nasionalis, Atatürk melarang Turki Muda serta Enver Pasya buat kembali ke perpolitikan Turki.
Sebagai kalimat terakhir dari penulis, perjalanan yang mengiringi kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah merupakan perjuangan panjang yang tidak dapat dinafikan segmen serta bagian-bagian tertentu, Mustafa Kemal Atatürk merupakan paku terakhir yang dipalukan ke peti mati Utsmaniyah, lonceng kematiannya sudah berbunyi sejak Utsmaniyah tidak mampu menyaingi kemajuan negara-negara saingannya di Eropa, serta tidak ada Imperium yang dapat bertahan selamanya.
Penulis: Lee Kuan Yew
OA: Historypedia Line
Merupakan sebuah keharusan bagi penulis buat merangkai artikel ini dengan niatan memperkenalkan bahan pertimbangan serta argumentasi kepada para pembaca mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar kemerosotan perlahan yang terjadi pada Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini penulis lakukan buat memberikan anti-tesis terhadap informasi-informasi yang banyak didistribusikan pada waktu peringatan pembubaran Khilafah Utsmaniyah yang terjadi setiap tanggal 3 pada bulan Maret.
Informasi-informasi yang tersebar menyediakan narasi yang bias dengan penjabaran yang condong memperkenalkan pembahasan adanya sebuah konspirasi besar terhadap Kekhilafahan Utsmaniyah serta menyalahkan kemunduran tersebut secara keseluruhan kepada kekuatan-kekuatan Barat, Gerakan Turki Muda, gerakan-gerakan nasionalis, serta Mustafa Kemal Atatürk selaku penyebab utama; terkadang selaku penyebab satu-satunya yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah. Hal ini meninggalkan sedikit ruang buat penalaran serta pendalaman multi-dimensional buat mencari serta mempertimbangkan penyebab yang berkontribusi terhadap keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah yang berasal dari dalam Kekhilafahan itu sendiri. Atas dasar ini, penulis didorong buat memperkenalkan artikel ini.
Ketika diadakan kajian serta pendalaman mengenai 124 tahun terakhir kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, perlu dipertimbangkan kalau Kekhilafahan ini menghadapi mermacam permasalahan yang datang dari internal Khilafah maupun eksternal, seperti: ketidakmampuan Negara Utsmaniyah buat mengadakan reformasi birokrasi serta modernisasi buat menyamai kecepatan tahap perkembangan teknologi serta politik saingannya di Eropa, perang yang terjadi secara terus-menerus selama tujuh atau delapan abad–jika menghitung jeda di antara Perang Krimea serta Perang Rusia-Turki yang terjadi pada tahun 1877 sampai 1878, pemberontakan yang terjadi sebab ketidakpuasaan terhadap kemunduran birokrasi serta ekonomi seperti yang dikobarkan oleh Mesir di bawah gubernur Muhammad Ali; atau sebab perbedaan mazhab agama seperti yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saud serta Muhammad bin Abdul Wahab pada Perang Wahabi yang terjadi pada tahun 1811 sampai 1818, kebangkitan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan-jajahannya seperti di daerah Balkan serta Levant, serta tuntutan reformasi dalam bentuk konstitusi serta republikanisme oleh kalangan kaum muda yang berkeinginan buat memperkuat Negara Utsmaniyah serta menghentikan stagnasi yang terjadi.
Perjalanan dari kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah awalnya ialah bangkitnya kesadaran bangsa Arab di Mesir serta Suriah bakal kondisi mereka yang terbelakang dibanding negara-negara Eropa dalam bidang sosial serta saintek. Kesadaran ini timbul dikala pasukan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte menyerbu Mesir pada yahun 1798 serta mengikutsertakan sebuah Misi Kebudayaan buat menyebarkan semangat Revolusi Perancis. Nilai-nilai humanisme serta ide-ide pencerahan yang dibawa oleh Napoleon disambut dengan pertentangan dari warga serta cendekiawan Mesir sebab tidak sesuai dengan ajaran Islam, meski demikian, para cendekiawan muslim seperti Abdurrahman al-Jabarti serta Al-Thahthawi menyadari urgensi dunia Islam serta bangsa Arab buat mengejar tingkat saintek serta perkembangan ilmu sosial yang dicapai oleh bangsa Eropa agar tetap mampu bersaing.
Setelah pasukan Perancis berhasil dikalahkan oleh pasukan Utsmaniyah dengan bantuan Inggris, Mesir dipimpin oleh gubernur yang dipilih secara terkenal oleh rakyat Mesir, yaitu seorang pria asal Albania yang bernama Muhammad Ali. Mesir dikala itu meski merupakan jajahan Utsmaniyah, merupakan wilayah Arab kesatu yang berada di bawah jajahan Utsmaniyah yang memodernisasi serta berhasil dalam melaksanakan hal tersebut. Pencerahan iptek yang dibawa oleh Misi Kebudayaan Perancis menghilangkan kepercayaan diri bangsa Arab serta warga di bawah kekuasaan Utsmaniyah yang selama ini menggangap kalau diri mereka ialah peradaban paling maju di bumi. Hilangnya kepercayaan diri ini mendorong Muhammad Ali buat mengirim pelajar ke negara-negara Eropa buat mempelajari teknologi, ilmu pengetahuan, strategi militer, serta secara tidak sengaja juga membawa ide-ide sosial-politik yang nantinya bakal memulai 'Al-Nahda' atau renaisans kebudayaan yang terjadi di wilayah jajahan Utsmaniyah di Suriah, Mesir, serta dunia Arab.
Antara 1813 sampai 1849, Muhammad Ali mengirimkan mahasiswa ke negara-negara Eropa serta menghabiskan biaya sebesar £E 273.360. Para mahasiswa memelajari secara spesifik: strategi militer, teknik mesin, kedokteran, farmasi, kesenian, serta kerajinan; para cendekiawan seperti Al-Thahthawi meneliti gejala sosial yang tengah melanda negara-negara Eropa yang pada dikala itu tengah mengalami perubahan kekuasaan dari absolutisme raja-raja menjadi monarki konstitusional serta republikanisme. Al-Thahthawi menerjemahkan Konstitusi Perancis 1814 sebanyak 74 pasal serta menuliskan jurnal yang memihak pada pengikutsertaan suara rakyat yang diatur oleh konstitusi serta hukum pada urusan pengambilan keputusan serta pembuatan kebijakan negara. Para mahasiswa membawa kembali dari negara-negara Eropa buku-buku berbahasa asing, serta Muhammad Ali mendirikan sebuah biro penerjemahan buat menerjemahkan serta mempermudah pengenalan ilmu-ilmu baru ini kepada masyarakat Mesir. Tindakan-tindakan ini membuka kembali pintu ijtihad, yang nantinya bakal menginspirasi Tanzimat.
'Al-Nahda' yang menjalar ke dunia cendekiawan serta akademisi Arab ini tidak diterima dengan baik oleh kaum penguasa Utsmaniyah yang tidak menggangap indah prospek ijtihad. Hal ini menghambat laju modernisasi serta restrukturisasi birokrasi Negara Utsmaniyah sehingga bisa dibilang tertinggal oleh Mesir. Bangsa Arab telah merasakan bumbu-bumbu konstitusionalisme, hukum yang terkodifikasi serta egaliter, birokrasi yang tersusun, serta semangat humanisme serta sikap menghargai semua bangsa tanpa diskriminasi, tentunya mereka tidak bakal terus menunjukan sikap jinak mereka terhadap Konstantinopel serta perlahan menuntut konsesi yang adil di bawah kekuasaan Utsmaniyah, hal ini bakal mencapai puncaknya dikala Pemberontakan Arab Besar diproklamasikan oleh Wangsa Hasyimiyah di Hijaz pada tahun 1916.
Abad ke-19 bukanlah abad yang ringan bagi Kekhilafahan Utsmaniyah, propagasi ide-ide baru seperti nasionalisme serta pelaksanaan agama yang puritan mengancam integritas wilayah Utsmaniyah. Dimulai dari abad ke-18, wilayah jajahan Utsmaniyah di Arab serta Afrika Utara diberi otonomi lebih dari masa-masa sebelumnya, hal ini dimaksudkan buat menambah efisiensi birokrasi, pemungutan pajak, serta perekrutan tentara. Namun para penguasa Arab lokal belum siap secara mental buat diberikan otonomi, hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik serta kebobrokan ekonomi seperti di Mesir. Permasalahan ini nantinya bakal menjadi bibit kemerosotan pengaruh serta wilayah Utsmaniyah di Timur Tengah serta Afrika Utara dikala pemerintah pusat Utsmaniyah yang diberi nama 'Porte Agung' tidak mampu mengatasi masalah ini. Permasalahan ini diperparah dengan skema-skema politik yang ambigu mengenai kebijakan geopolitik wilayah vasal mereka di Timur Tengah.
Pada tahun 1821 kaum revolusioner Yunani memberontak terhadap kekuasaan Utsmaniyah, Porte menjanjikan kepada penguasa Mesir, gubernur Muhammad Ali wilayah kekuasaan di Suriah kalau bersedia membantu upaya perang Utsmaniyah di Yunani. Meski memperoleh hasil yang memuaskan di awal-awal perang, intervensi Inggris serta Perancis atas desakan dari rakyat mereka yang–merasa miris dengan kekejaman koalisi Utsmaniyah-Mesir– berhasil mengalahkan pasukan Utsmaniyah serta menghancurkan angkatan laut Mesir. Ketika perang berakhir, Muhammad Ali menuntut kembali janji yang diberikan oleh Sultan Mahmud II buat memberi wilayah Suriah. Sultan Mahmud II menolak permintaan sang gubernur serta membawa negara beliau ke dalam api peperangan kembali. Dalam keadaan marah serta kecewa, Muhammad Ali mengutus anaknya; Ibrahim Pasya buat memimpin 30.000 pasukan dengan persenjataan modern buat menyerang Utsmaniyah, peperangan ini merupakan keberhasilan besar bagi pasukan Mesir. Sultan Mahmud II menyerah kepada tuntutan Muhammad Ali dikala beliau mendengar kalau pasukan Mesir sudah mencapai Kota Konya.
Keberhasilan Mesir pada Perang Mesir-Utsmaniyah 1831-1833 tidak memuaskan ambisi Muhammad Ali. Beliau memimpikan sebuah Kerajaan Mesir merdeka yang merembet dari Sudan ke Suriah beserta penguasaan penuh atas wilayah Hijaz yang merupakan tempat dua kota suci; Makkah serta Madinah. Dalam rangka memenuhi ambisi beliau, Muhammad Ali kembali mengobarkan perang melawan Sultan, namun kali ini Inggris yang khawatir bakal runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah serta menyaksikan hadirnya kekuatan modern yang baru yaitu Mesir yang dekat dengan saingannya yaitu Perancis, membantu Kekhilafahan Utsmaniyah serta dengan koalisi ini, Muhammad Ali berhasil dikalahkan. Dalam Konvensi London yang diadakan pada tahun 1840, Muhammad Ali diberikan kuasa penuh atas Mesir serta Sudan serta diberikan hak buat mendirikan dinasti yang diberi hak khusus buat memerintah Mesir yang semi-merdeka mewakili Porte.
Perang Mesir-Utsmaniyah Kedua yang berkobar pada tahun 1839-1841 sangat melemahkan pemerintahan serta wibawa Kekhilafahan Utsmaniyah. Kekuatan-kekuatan di Eropa memberikan penamaan "Sick Man of Europe" dengan melihat kondisi miris yang dihadapi oleh pemerintahan Utsmaniyah. Menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abdulmejid I memulai Tanzimat atau 'reorganisasi' buat memperkuat serta memodernisasi Kekhilafahan Utsmaniyah. Dokumen kesatu Tanzimat berisi tujuan-tujuan dasar yaitu: memastikan "Keamanan yang sempurna bagi kehidupan, kehormatan, serta properti" bagi seluruh rakyat Utsmaniyah; membangun "Sebuah sistem penilaian pajak reguler": serta reformasi dinas militer.
Tanzimat dilakukan buat memperkuat birokrasi serta administrasi Kekhilafahan Utsmaniyah yang bobrok. telah merupakan keharusan bagi negara-negara yang mengupayakan modernisasi dikala itu buat juga mengenalkan reformasi administrasi seperti penyederhanaan serta pemerataan hukum, serta pendataan penduduk buat membangun birokrasi yang efisien, dengan ini hukum yang terkodifikasi serta egaliter beserta konstitusi dikenalkan kepada kehidupan Utsmaniyah.
Tentunya reformasi-reformasi tersebut ditentang oleh kaum agamawan serta rakyat beragama Suni Utsmaniyah yang relijius. Hal ini terjadi akibat minimnya sosialisasi serta perencanaan matang yang kemudian reformasi-reformasi ini diperkenalkan secara spontan kepada masyarakat yang dogmatis serta telah lama tidak berijtihad serta berinovasi dalam bidang sosial-politik Tak sampai tahun 1850an serta 1860an efek dari Tanzimat mulai terasa dikala muncul gerakan-gerakan pemuda yang progresif seperti 'Utsmani Muda' serta mencapai puncak pergerakan reformasi dengan munculnya 'Turki Muda' yang menggulingkan Sultan Abdul Hamid II–yang memerintah dengan absolutisme–pada tahun 1908
Organisasi-organisasi pemuda ini beranggotakan mahasiswa-mahasiswa Utsmaniyah yang memelajari kedokteran serta ketentaraan, para elit-elit muda ini setelah belajar ke Eropa beranggapan kalau rahasia di balik kesuksesan negara-negara di Eropa ialah pemerintahan yang kuat yang ditopang oleh organisasi politik yang teratur serta terorganisir serta hadirnya kekuasaan yang konstitusional. Mereka kecewa dengan ketidakstabilan politik yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdulaziz. Pergerakan reformis beranggapan kalau Sultan pengganti Sultan Murad yaitu Sultan Abdul Hamid II bakal bekerjasama dengan 'Utsmani Muda', serta beliau pada masa awal-awal pemerintahan memang bekerjasama dengan para reformis dalam mendirikan pemerintahan yang konstitusional serta mempunyai parlemen, namun beberapa ketidaksepakatan beliau dengan parlemen serta dihadapkan dengan disintegrasi wilayah Utsmaniyah akibat pemberontakan nasionalis serta peperangan dengan Rusia–atas polemik minoritas Kristen di Lebanon serta Palestina yang di mana Utsmaniayah dibantu oleh Perancis serta Inggris–membuat beliau membubarkan parlemen serta menangguhkan konstitusi.
Hal tersebut serta peralihan kepada absolutisme di bawah Sultan Abdul Hamid II mengecewakan kaum reformis serta berujung dengan Kudeta Turki Muda pada tahun 1908 yang digerakan oleh 'Komite buat Persatuan serta Kemajuan' yang berisikan anggota-anggota Turki Muda serta 'Partai Kebebasan serta Kesesuaian' yang dipimpin oleh salah satunya anggota dari Dinasti Osman sendiri yaitu Sultanzade Sebahaddin. Dua kekuatan ini beserta pergerakan kecil lainnya yang tergabung di bawah 'Uni Liberal' beraspirasi buat mengembalikan konstitusi serta mendirikan parlemen kembali yang telah ditangguhkan oleh Sultan Abdul Hamid II.
Nasionalisme merupakan sebuah pedang yang menghunus ke dua arah bagi Kekhalifahan Utsmaniyah; di satu sisi perlu dipahami kalau Utsmaniyah dalam perjalanannya selaku kekuatan imperial mempunyai wilayah kedaulatan plural yang multi-etnis serta multi-nasional, didiami bangsa Turki, bangsa Arab, bangsa Armenia, bangsa Kurdi, bangsa Slavia, serta mermacam minoritas seperti minoritas Druze di Lebanon. Nasionalisme ialah ide yang menginspirasi bangsa-bangsa ini buat memberontak melawan Utsmaniyah serta membangun rasa kebangsaan sendiri. Hal ini menjadikan wilayah Balkan yang didiami oleh bangsa Slavia; setelah menemukan jati diri bangsa mereka, bersatu melawan Utsmaniyah pada Perang Balkan Pertama pada tahun 1912-1913.
Di sisi yang lain, bangsa Turki yang mempunyai pemikiran seperti Tiga Pasya: Talaat, Djemal, serta Enver menyadari kalau buat memperkuat Negara Utsmaniyah serta mempertahankan dominasi bangsa Turki dalam perpolitikan Utsmaniyah maka perlu menyuarakan juga semangat kebangsaan Turki. Gerakan Turki Muda yang dipimpin oleh Triumverat Pasya di awal abad ke-20an melalui Komite buat Persatuan serta Kemajuan bekerja buat mensentralisasi kekuasaan politik ke Istanbul serta secara perlahan men-"Turkifikasi" penduduk multi-budaya di wilayah Utsmaniyah.
Upaya Turkifikasi budaya mereka yang berada di wilayah jajahan membangkitkan kembali semangat Al-Nahda yang dimulai di Mesir. Aspirasi nasionalisme serta modernisasi bangsa Arab yang diwariskan oleh tokoh-tokoh seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani serta Syaikh Muhammad Abduh beserta ingatan bakal pemberontakan tokoh-tokoh reformis seperti Saad Zaghlul di Mesir kembali bergema di kalangan bangsa Arab. Namun pada awal masa pergerakannya, para nasionalis Arab terpaksa berkumpul secara rahasia serta dengan memperhatikan kehati-hatian yang tinggi, sebab Utsmaniyah di bawah pimpinan Triumverat Pasya gencar membungkam oposisi-oposisi politik bahkan sekutu lamanya di Partai Kebebasan serta Kesesuaian; para nasionalis Arab tidak lepas dari pembungkaman serta sensor pemerintah. Membutuhkan sebuah percikan agar pergerakan nasioanl Arab dapat naik ke permukaan dinamika politik. Percikan ini ialah pecahnya Perang Dunia 1 serta bergabungnya Utsmaniyah di sisi Kekuatan Poros.
Kengerian yang membayangi tragedi kemanusiaan di Armenia serta tindakan Djemal Pasya di Suriah serta Lebanon terhadap tokoh-tokoh pro-kemerdekaan Arab membuahkan sensasi paranoia serta kekhawatiran di kalangan bangsa Arab di Levant, Mesopotamia, serta Hijaz. Djemal menjatuhkan tuduhan penghianatan tingkat tinggi kepada sejumlah tokoh di Suriah serta Lebanon. Sebuah pengadilan militer didirikan di Lebanon pada tahun 1915, dalam waktu setahun, puluhan orang digantung di Beirut serta Damaskus, serta menjebloskan ratusan orang lainnya ke penjara, serta ribuan orang diasingkan. Tindakan ini yang memberikan gelar "al-Saffah" atau "penumpah darah" kepada Djemal Pasya meyakinkan lebih banyak orang Arab buat memerdekakan diri.
Sebuah ucapan disampaikan oleh Presiden Liga Progres Lebanon, Naroum Mokarzel pada tahun 1913 dalam Kongres Arab di Paris kalau revolusi yang bakal terjadi perlu merupakan revolusi literasi serta reformasi, serta kalau kekerasan cuma merupakan pilihan terakhir. Namun pada tahun 1916, Wangsa Hasyimiyah di Hijaz dipimpin oleh Sharif Hussein bin Ali yang dibantu oleh Inggris melalui Korespondensi Hussein-McMahon; didorong oleh rasa takut terhadap prospek bakal terjadinya pembantaian terhadap orang Arab seperti yang terjadi di Armenia memilih buat mengobarkan perang serta mengambil pilihan pertumpahan darah. Wangsa Hasyimiyah juga mengadakan hal tersebut sebab menggangap kalau Turki Muda serta Triumverat Pasya dalam upaya mereformasi Utsmaniyah sudah melenceng dari Islam.
Di dikala yang sama seorang perwira asal Thessaloniki yang merupakan veteran Perang Italia-Utsmaniyah di Italia pada tahun 1911-1912 mencetak prestasi militer di medan pertempuran, beliau merupakan tokoh instrumental dalam kemenangan Utsmaniyah di Galipoli melawan Sekutu serta dikala Utsmaniyah mulai kalah dalam perang, beliau mengupayakan evakuasi pasukan Utsmaniyah dari Mesopotamia serta Suriah menuju Anatolia. Beliau nantinya bakal menjadi Presiden Republik Turki yang petama, nama beliau ialah Mustafa Kemal. Seorang ahli strategi militer serta negarawan, beliau tidak berdiam diri dikala Sultan Utsmaniyah melewati delegasi yang dikirim ke Sèvres menyetujui pengucilan wilayah Utsmaniyah serta memaksakan Utsmaniyah buat membayar biaya yang mahal akibat keikutsertaan mereka serta agresi mereka pada tahun 1914. Perjanjian Sèvres membagi wilayah Asia Minor menjadi zona yang diadministrasi oleh Yunani, Perancis, serta Italia; menyisihkan wilayah buat Armenia serta Negara Kurdi. Utsmaniyah cuma dibatasi pada kantong kecil di utara Anatolia; serta keuangan Utsmaniyah dikendalikan oleh para pemenang perang melewati OPDA–yang diperkuat, Administrasi Utang Umum Utsmaniyah yang didirikan pada masa Sultan Abdul Hamid II buat mengurus pembayaran utang Utsmaniyah ke negara-negara serta perusahaan di Eropa.
Mustafa Kemal mendirikan Majelis Agung Nasional bersama kaum nasionalis serta mengobarkan perang kemerdekaan melawan tentara asing di wilayah Turki serta Kekhilafahan Utsmaniyah yang tidak berdaya yang tergabung dalam koalisi tentara sekutu selama tiga tahun. Beliau berhasil mengusir tentara Yunani dsri Izmir, hal ini merupakan kemenangan penting bagi kaum nasionalis, kemudian pada tanggal 3 Maret 1924 memasuki Istanbul serta membubarkan Negara Utsmaniyah serta mengasingkan Dinasti Osman. Keberhasilan Mustafa Kemal dalam mengupayakan kemerdekaan Turki memberikan kepada beliau nama kehormatan "Atatürk" atau "Bapak bangsa Turki" serta memaksa para pemenang Perang Dunia 1 buat kembali ke meja perundingan. Perjanjian Lausanne yang dirumuskan setelah Perang Kemeedekaan Turki membentuk perbatasan Turki modern serta menghapus banyak dari sanksi yang dijabarkan sebelumnya dalam Perjanjian Sèvres. Meski sesama kaum nasionalis, Atatürk melarang Turki Muda serta Enver Pasya buat kembali ke perpolitikan Turki.
Sebagai kalimat terakhir dari penulis, perjalanan yang mengiringi kemunduran Kekhilafahan Utsmaniyah merupakan perjuangan panjang yang tidak dapat dinafikan segmen serta bagian-bagian tertentu, Mustafa Kemal Atatürk merupakan paku terakhir yang dipalukan ke peti mati Utsmaniyah, lonceng kematiannya sudah berbunyi sejak Utsmaniyah tidak mampu menyaingi kemajuan negara-negara saingannya di Eropa, serta tidak ada Imperium yang dapat bertahan selamanya.
Penulis: Lee Kuan Yew
OA: Historypedia Line