Sejarah Masjid Demak

Masjid Agung Demak termasuk salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting dalam peranan penyebaran Islam di tanah air, masjid ini dibangun tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Masjid ini dahulunya digunakan selaku tempat berkumpulnya para wali syiar agama Islam, yang lebih diketahui dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul di Masjid Agung buat beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, serta mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Maka dari itu, masjid ini bisa dianggap selaku saksi bisu penyebaran Islam di Indonesia serta bukti salah satu kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.

Letak Masjid Agung Demak ialah di tengah kota serta menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, serta alun-alun yang berada di tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro.

Menurut legenda, pendirian masjid ini cuma dilakukan secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Dalam cerita Babad Demak menunjukkan Kalau masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaningjanmi”, tengah adanya gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan Kalau masjid ini berdiri tahun 1479. Luas bangunan yang terbuat dari kayu jati ini memiliki ukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang menggunakan empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara ialah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, tengah sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus atau yang lebih diketahui selaku Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor, sultan Demak ke-2 pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju “hadiah” dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang tengah bermusyawarah di dalam masjid itu.

Para wali sering berkumpul di masjid ini buat beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, serta juga mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini menjadi tempat bersejarah tentang penyebaran ajaran islam di indonesia serta bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintara yang masih ada hingga sekarang ini serta selaku tempat penyebaran islam awal di Jawa, serta selaku tempat para Wali berkumpul. Masjid Agung Demak memiliki tiga tahap dalam pembangunannya.

tahap pembangunan yang awal ialah pada tahun 1466. Para wali tersebut juga memiliki peranan penting pada masa kerajaan Demak serta juga selaku penasehat dari Raja Demak. Yang menjadikan hubungan yang terjalin erat antara raja serta bangsawan, juga ulama dengan rakyat. Terjadinya hubungan yang erat tersebut karna sering diadakannya pembinaan di Masjid maupun di pondok pesantren sehingga terciptalah kebersamaan atau Ukhuwah islamiah ( persaudaraan yang terjalin diantara orang-orang islam ).

Ketika itu masjid Demak masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi yang berada di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid Demak dibangun kembali  sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, pada dikala Raden Patah diangkat selaku Sultan I Demak, masjid ini kembali direnovasi lagi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama para Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat yang berada disekitarnya.

Para wali saling membagi tugas masing-masing. Secara umum, para wali membuat soko guru yang menjadi tiang penyangga utama dari masjid tersebut. Namun, juga ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainya, yaitu: Sunan Bonang memimpin pembuatan soko guru yang berada di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru yang berada di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko guru yang berada di bagian tenggara; serta Sunan Gunung jati membuat soko guru yang berada di sebelah barat daya.

Bangunan masjid juga ditopang dengan dengan jumlah 128 soko, empat di antaranya merupakan soko guru yang berperan selaku penyangga utamanya masjid. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, serta tiang kelilingnya berjumlah 16 buah. Mesjid ini juga memiliki lima buah pintu yang saling menghubungkan, yang juga memiliki makna rukun islam, yaitu shahadat,zakat,shalat,puasa, serta haji. Juga 6 buah jendela yang memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitabNya, hari kiamat, serta qadha-qadar-Nya.Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki.

Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini memiliki makna, yaitu Kalau seorang beriman harus menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, serta ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, serta haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitabNya, hari kiamat, serta qadha-qadar-Nya.

Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan bakal lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah. Dan ada satu keistimewahan satu buah tiang yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal). Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreatiitas masyarakat pada dikala itu.

Di samping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal dikala itu, kondisi alam yang mendukung ketersediaan kayu juga mempengaruhi proses pembangunan masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada dikala itu, seperti joglo, memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.

Mesjid Agung Demak juga selaku lambang kekuasaan yang bercorak islam ialah suatu sisi yang tidak bisa dipisahkan dari Kesultanan Demak Bintara. Bangunan ini juga dijadikan salah satu markas para Wali buat melaksanakan Sekaten. Pada dikala upacara sekaten dimulai, dibunyikanlah gamelan serta rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berbondong – bondong mendatangi serta memenuhi tempat diadakannya acara sekaten tersebut. Lalu para wali melaksanakan semacam pengajian akbar, sehingga masyarakatpun dituntun buat mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Alasan begitu cepatnya perkembangan Demak yang menjadi pusat perniagaan, serta pusat penyebaran islam, tidak terlepas dari berdirinya masjid Agung Demak. Jadi dari sinilah semua raja dari Kesultanan Demak serta para Walisongo memulai perluasan daerah kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.

Wali Songo diantaranya: Sunan Bonang, Sunan Derajat ialah putra Sunan Ampel yang sebelumnya Sudah bertempat tinggal di kampung Ampel Denta (Surabaya), sunan Kalijaga yang disebut pula Jaka Sayid ialah putra seorang tumenggung Majapahit, Sunan Giri ialah hasil perkawainan antara seorang putri Blambangan dengan seorang Muslim. Sunan Gunung Jati putra Rara Santang atau Syarifah Modai’im, putri Prabu Siliwangi. Sunan Rahmat yang dalam babad dikatakan datang dari Campa, ia ialah saudara sepepu permaisuri Brawijaya.

Di Jawa berdasarkan kisah tradisional serta babad-babad, yang mendapat gelar wali dianggap selaku pembawa serta penyebar Islam di daerah-daerah pesisir. Tidaklah semua wali yang tergolong Wali sanga atau wali sembilan berasal dari negeri luar. Bahkan sebagian besar dari wali sanga menurut kisah dalam babad-babad berasal dari Jawa sendiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel