Diplomasi Ekonomi Indonesia: Negosiasi Hutang
Sabtu, September 21, 2019
Penyederhanaan sistem kurs serta prosedur perdagangan tak serta-merta dapat meningkatkan ekspor serta devisa. Untuk menyelematkan situasi pada 196 dibutuhkan langkah yang dapat selekasnya menyelamatkan situasi pada 1966 dibutuhkan langkah yang dapat selekasnya meringankan ketimpangan antara kebutuhan serta ketersidaan devisa. Oleh karna itu, jalur kedua yang dilakukan ialah melakukan diplomasi intensif untuk memperoleh penjadwalan utang serta sekaligus mendapatkan pinjaman darurat/baru agar impor buat memenuhi kebutuhan produksi serta konsumsi dalam negeri dapat selekasnya terpenuhi.
tahap diplomasi utang ini sebenarnya sudah dimulai sejak Mei 1966. Meskipun beberapa kali sudah diadakan pertemuan dengan para kreditur, kemajuan yang berarti baru dicapai setelah Indonesia merumuskan strategi stabilitasi ekonomi yang komrehensif dengan bantuan teknis dari IMF,yaitu Paket Stabilitasi Oktober 1966. Setelah beberapa kali pertemuan awal, akhirnya usulan Indonesia dibawah ke Paris Club (forum memfasilitasi penjadwalan kembali utang-utanng pemerintah dengan pemerintah-pemerintah lain) pada Desember 1966 yang menyetujui penundaan pembayaran pokok serta bunga sampai 1971 serta jumlah yang ditunda ini bakal dibayar dalam 8 kali cicilan tahunan.
Dengan dicapainya kesepakatan Paris Club itu, pintu terbuka bagi Indonesia buat memperoleh pinjaman baru dengan bunga yang lebih lunak. Dalam pertemuan dengan para kreditr di Amsterdam (Februari 1967), kemudian di Den Haag (April 1967), serta selanjutnya di Schveningen (Juni 1967), para kreditur sepakata buat memberikan komitmen 3 bentuk pinjaman: pinjaman tunai (pinjaman program) baru sebesar $187.5 juta buat menolong neraca pembayaran tahun 1967 serta sejumlah pinjaman buat membiayai pembangunan proyek (pinjama proyek) serta bantuan dalam bentuk barang, seperti pangan, kapas, serta sejumlah komoditi lain (pinjaman komoditas). Pertemuan ini ialah muasal dari forum yang kemudian diketahui selaku Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang berlangsung setiap tahunnya buat dasawarsa kemudian. Sebagia catatan, pada 1990 IGGI dihentikan serta dilanjutkan dengan forum serupa yang kurang lebih sama.
Diplomasi penjadwalan utang mencapai keberhasilan besar pada pada April 1970 dikala para kreditur Indonesia di Paris Club menerima usulan dari bankir terkemuka Jerman, Dr.Hermann Abs, yang sebelumnya diminta oleh Paris Club serta didukung Indonesia buat mempelajari kemampuan Indoneesia membayar kembali utangnya dalam jangka menengah. Dari hasil studinya, Abs mengusulkan agar Indonesia diberi keringanan penundaaan pembayaran bunga serta pokok dari utang lamanya (yang dipinjam sebelum 1966) selama 30 tahun serta pembayaran bunga selama 15 tahun. Kesepakatan ini sangat meringankan Indonesia dalam mengelola ekonominya dalam jangka menengah.
Ringkasnya, diplomasi ekonomi Indonesia berhasil dilaksanakan di 2 forum utama: lewat Paris Club, beban pembayaran utang dapat diperingan; serta lewat IGGI, pinjaman lunak baru dapat diperoleh. Dengan keberhasilan diplomasi itu, Indonesia dapat mengatasi masalah pembiayaan program stabilitasasinya dan selanjutnya juga program pembangunan ekonomi (Repelita I mulai 1969). Peristiwa sejarah selanjutnya menunjukan Kalau pembagunan semakin dipermudah dengan terjadinya kenaikan harga minya (oil boom) mulai 1973.
oleh: Prof. Dr. Boediono dalam buku Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
source: gu-buk.net
tahap diplomasi utang ini sebenarnya sudah dimulai sejak Mei 1966. Meskipun beberapa kali sudah diadakan pertemuan dengan para kreditur, kemajuan yang berarti baru dicapai setelah Indonesia merumuskan strategi stabilitasi ekonomi yang komrehensif dengan bantuan teknis dari IMF,yaitu Paket Stabilitasi Oktober 1966. Setelah beberapa kali pertemuan awal, akhirnya usulan Indonesia dibawah ke Paris Club (forum memfasilitasi penjadwalan kembali utang-utanng pemerintah dengan pemerintah-pemerintah lain) pada Desember 1966 yang menyetujui penundaan pembayaran pokok serta bunga sampai 1971 serta jumlah yang ditunda ini bakal dibayar dalam 8 kali cicilan tahunan.
Dengan dicapainya kesepakatan Paris Club itu, pintu terbuka bagi Indonesia buat memperoleh pinjaman baru dengan bunga yang lebih lunak. Dalam pertemuan dengan para kreditr di Amsterdam (Februari 1967), kemudian di Den Haag (April 1967), serta selanjutnya di Schveningen (Juni 1967), para kreditur sepakata buat memberikan komitmen 3 bentuk pinjaman: pinjaman tunai (pinjaman program) baru sebesar $187.5 juta buat menolong neraca pembayaran tahun 1967 serta sejumlah pinjaman buat membiayai pembangunan proyek (pinjama proyek) serta bantuan dalam bentuk barang, seperti pangan, kapas, serta sejumlah komoditi lain (pinjaman komoditas). Pertemuan ini ialah muasal dari forum yang kemudian diketahui selaku Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang berlangsung setiap tahunnya buat dasawarsa kemudian. Sebagia catatan, pada 1990 IGGI dihentikan serta dilanjutkan dengan forum serupa yang kurang lebih sama.
Diplomasi penjadwalan utang mencapai keberhasilan besar pada pada April 1970 dikala para kreditur Indonesia di Paris Club menerima usulan dari bankir terkemuka Jerman, Dr.Hermann Abs, yang sebelumnya diminta oleh Paris Club serta didukung Indonesia buat mempelajari kemampuan Indoneesia membayar kembali utangnya dalam jangka menengah. Dari hasil studinya, Abs mengusulkan agar Indonesia diberi keringanan penundaaan pembayaran bunga serta pokok dari utang lamanya (yang dipinjam sebelum 1966) selama 30 tahun serta pembayaran bunga selama 15 tahun. Kesepakatan ini sangat meringankan Indonesia dalam mengelola ekonominya dalam jangka menengah.
Ringkasnya, diplomasi ekonomi Indonesia berhasil dilaksanakan di 2 forum utama: lewat Paris Club, beban pembayaran utang dapat diperingan; serta lewat IGGI, pinjaman lunak baru dapat diperoleh. Dengan keberhasilan diplomasi itu, Indonesia dapat mengatasi masalah pembiayaan program stabilitasasinya dan selanjutnya juga program pembangunan ekonomi (Repelita I mulai 1969). Peristiwa sejarah selanjutnya menunjukan Kalau pembagunan semakin dipermudah dengan terjadinya kenaikan harga minya (oil boom) mulai 1973.
oleh: Prof. Dr. Boediono dalam buku Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah
source: gu-buk.net