Dr. Moewardi: Dokter Pejuang
Jumat, Agustus 16, 2019
Dia memang dokter, tapi jiwa mudanya menggelora ketika Belanda datang lagi ke Indonesia. Dia ikut bertempur melawan penjajah. Dia kerahkan orang-orangnya buat mengamankan lapangan Ikada, ketika bakal diadakan proklamasi kemerdekaan, meski batal. Dia juga yang mengerahkan orang-orang barisan pelopor buat menjaga rumah presiden serta wakil presiden di Jakarta. Dia seorang dokter yang punya peran vital dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Muwardi yang lahir di Pati ini hijrah ke Batavia buat studi kedokteran di STOVIA. Dia memperdalam pengetahuan selaku spesialis telinga, hidung, serta tenggorokan. Sewaktu di STOVIA, ia memasuki organisasi Jong Java. Dia pernah pula menjadi anggota. Indonesia Muda. Organisasi pramuka pun diikuti serta pernah menjadi pimpinan umum Pandu Kebangsaan yang kemudian berganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia [KBI].
Pada masa pendudukan Jepang, Muwardi menjadi pemimpin Barisan Pelopor daerah Jakarta. Beberapa hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia diangkat menjadi pemimpin Barisan Pelopor seluruh Jawa. Pada 16 Agustus 1945, anggota Barisan Pelopor dikerahkannya mengawal Lapangan Ikada, karna menurut rencana di tempat itulah Proklamasi Kemerdekaan bakal diucapkan. Sesudah proklamasi diumumkan, Muwardi membentuk Barisan Pelopor Istimewa selaku pengawal pribadi Presiden Sukarno. Saat Kabinet Presidensiil terbentuk, ia diminta buat menjadi menteri pertahanan, tetapi ditolaknya karna hendak terus praktik selaku dokter.
Permulaan tahun 1946, pusat kegiatan Barisan Pelopor dipindahkan ke Solo. Namanya berganti menjadi Barisan Banteng. Cabang-cabang Barisan Banteng dibentuk di daerah-daerah lain. Khusus buat daerah Solo didirikan Divisi Laskar Banteng. Bersama anak buahnya, Muwardi turut bertempur melawan musuh. Ketika masih berada di Jakarta, ia ikut dalam pertempuran melawan Inggris di Klender. Di samping itu, tugas selaku dokter tetap dijalankannya. Bersama dokter-dokter lain, ia mendirikan Sekolah Kedokteran di Jebres, Solo serta kemudian pindah ke Klaten.
Selepas Perjanjian Renville, situasi politik di tanah air menjadi panas. Gesekan antar golongan terjadi. Orang-orang kiri yang merasa tak puas berusaha membuat sabotase. Kota Solo yang dekat dengan ibu kota, dijadikan daerah percobaan. Laskar-laskar kiri serta orang-orang yang pro pemerintah saling serang, saling culik serta membunuh. Dalam situasi gawat seperti itu, dr. Muwardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner. Sementara itu, praktik selaku dokter tetap ia jalankan. Peristiwa yang berujung pada “Madiun affair” itu membahayakan nyawa Muwardi serta itu benar-benar terjadi.
Pada 13 September 1948, anggota staf Barisan Banteng melarangnya pergi ke rumah sakit, tetapi ia tak mengindahkan. Dia datang rumah sakit Jebres buat melaksanakan operasi terhadap seorang pasien. Sewaktu menjalankan tugas selaku dokter itulah, ia diculik oleh sekelompok orang dari golongan kiri serta kemudian dibunuh. Atas jasa-jasanya dalam mendukung kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah menetapkannya selaku Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1964.
Muwardi yang lahir di Pati ini hijrah ke Batavia buat studi kedokteran di STOVIA. Dia memperdalam pengetahuan selaku spesialis telinga, hidung, serta tenggorokan. Sewaktu di STOVIA, ia memasuki organisasi Jong Java. Dia pernah pula menjadi anggota. Indonesia Muda. Organisasi pramuka pun diikuti serta pernah menjadi pimpinan umum Pandu Kebangsaan yang kemudian berganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia [KBI].
Pada masa pendudukan Jepang, Muwardi menjadi pemimpin Barisan Pelopor daerah Jakarta. Beberapa hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia diangkat menjadi pemimpin Barisan Pelopor seluruh Jawa. Pada 16 Agustus 1945, anggota Barisan Pelopor dikerahkannya mengawal Lapangan Ikada, karna menurut rencana di tempat itulah Proklamasi Kemerdekaan bakal diucapkan. Sesudah proklamasi diumumkan, Muwardi membentuk Barisan Pelopor Istimewa selaku pengawal pribadi Presiden Sukarno. Saat Kabinet Presidensiil terbentuk, ia diminta buat menjadi menteri pertahanan, tetapi ditolaknya karna hendak terus praktik selaku dokter.
Baca Juga
Permulaan tahun 1946, pusat kegiatan Barisan Pelopor dipindahkan ke Solo. Namanya berganti menjadi Barisan Banteng. Cabang-cabang Barisan Banteng dibentuk di daerah-daerah lain. Khusus buat daerah Solo didirikan Divisi Laskar Banteng. Bersama anak buahnya, Muwardi turut bertempur melawan musuh. Ketika masih berada di Jakarta, ia ikut dalam pertempuran melawan Inggris di Klender. Di samping itu, tugas selaku dokter tetap dijalankannya. Bersama dokter-dokter lain, ia mendirikan Sekolah Kedokteran di Jebres, Solo serta kemudian pindah ke Klaten.
Selepas Perjanjian Renville, situasi politik di tanah air menjadi panas. Gesekan antar golongan terjadi. Orang-orang kiri yang merasa tak puas berusaha membuat sabotase. Kota Solo yang dekat dengan ibu kota, dijadikan daerah percobaan. Laskar-laskar kiri serta orang-orang yang pro pemerintah saling serang, saling culik serta membunuh. Dalam situasi gawat seperti itu, dr. Muwardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner. Sementara itu, praktik selaku dokter tetap ia jalankan. Peristiwa yang berujung pada “Madiun affair” itu membahayakan nyawa Muwardi serta itu benar-benar terjadi.
Pada 13 September 1948, anggota staf Barisan Banteng melarangnya pergi ke rumah sakit, tetapi ia tak mengindahkan. Dia datang rumah sakit Jebres buat melaksanakan operasi terhadap seorang pasien. Sewaktu menjalankan tugas selaku dokter itulah, ia diculik oleh sekelompok orang dari golongan kiri serta kemudian dibunuh. Atas jasa-jasanya dalam mendukung kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah menetapkannya selaku Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1964.