Ki Hajar Dewantara: Seandainya Aku Seorang Belanda

 
Di awal abad 20 Masehi, di negeri koloni Hindia Belanda, pemerintah sibuk menyiapkan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang jatuh pada15 November 1913. Panitia sudah dibentuk jauh-jauh hari buat mempersiapkan kemeriahan serta orang-orang pribumi dilibatkan dalam persiapan ini. Lalu tiba-tiba pada 13 Juli 1913, seorang anak muda yang baru berumur 24 tahun menulis sindiran dalam surat berita Bandung De Express berjudul “Als ik een Nederlander was” yang mengkritik soal perayaan itu. Pemerintah tersinggung serta Raad van Indie [dewan Hindia] lekas bersidang pada akhir bulan serta mengeluarkan ancaman Apabila sang penulis bisa dikenai delichtpers dengan hukuman hingga 1 tahun penjara atau denda hingga 500 Gulden. Sang pemuda tetap tidak bergeming serta ia kian berani menantang pemerintah kolonial Belanda melalui tulisannya.

Pemuda itulah Raden Mas Suwardi Suryaningrat, keturunan Pakualam III. Suwardi memang tergolong pemberani. Mungkin ini hasil didikan ayahnya. Saat ia terjerat kasus di Bandung, pemerintah membujuk ayah Suwardi agar menasihati anaknya buat tidak terlalu kritis terhadap pemerintah. Ayahnya, KPH Suryaningrat, memang lekas menemui anaknya di Bandung, tapi bukan buat menasihati melainkan berujar, “…seorang satria tidak bakal menjilat ludahnya kembali”. Jadilah Suwardi kian berani, ia lekas menulis artikel garang bertajuk “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” pada 28 Juli 1913 serta membuat pemerintah marah. Tulisan itu dianggap agitatif. Tanpa waktu lama, pemerintah lekas menangkap Suwardi lalu menjatuhi hukuman buang ke pulau Bangka. Suwardi menolaknya serta meminta dibuang ke Belanda.

Suwardi memang punya bakat kritis serta kian terasah ketika terlibat dalam perkumpulan insulinde. dia juga kian memiliki pengaruh ketika mendirikan Indische Partij [IP] bersama dua kawan karibnya di Bandung. Jadilah nama Suwardi melambung selaku bagian dari “Janget Tinatelon” [tiga serangkai] yang populer sangat kritis.

Awalnya Suwardi hanyalah pemuda yang studi di STOVIA. dia mau menjadi dokter bumi putra, tetapi ia tidak menamatkan studinya karna bea siswanya dicabut. Suwardi lalu bekerja di laboratorium pabrik gula Kalibor, Banyumas, Jawa Tengah hingga pada 1911 Suwardi kembali ke Yogyakarta menjadi pembantu apoteker.

Baca Juga


Dunia obat memang bukan hidupnya, Suwardi justru tertarik menjadi wartawan di pelbagai surat berita seperti, Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer serta Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisantulisannya sangat komunikatif, tajam serta patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Dalam organisasi, sebelum terlibat Insulinde, Suwardi sudah aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo buat menyosialisasikan serta menggugah kesadaran masyarakat pribumi tentang pentingnya persatuan serta kesatuan dalam berbangsa serta bernegara.

Indische Partij atau tepatnya National Indische Partij yang didirikan pada 25 Desember 1912 menjadi partai pelopor dalam menuntut kemerdekaan Hindia [Indonesia]. Partai ini lekas tidak berdaya ketika gubernur jenderal Idenburg menolaknya pada 11 Maret 1913. Sekian bulan setelahnya, tepatnya pada 6 September 1913, Suwardi yang ditemani istrinya beserta dua rekan karibnya dalam “tiga serangkai” berangkat menuju tanah pembuangan.

Di Belanda, Soewardi aktif dalam Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). dia ikut menyemarakkan majalah Hindia Poetra serta juga Het Indonesisch Verbond van Student. Bersama istrinya, ia juga mendirikan Indonesisch Persbereau yang bertujuan selaku pusat propaganda perjuangan pergerakan nasional Hindia [Indonesia]. Di samping itu, Suwardi juga menempuh pendidikan keguruan hingga memperoleh Europeesche Akte.

Pada Agustus 1917, pengasingan Suwardi sesungguhnya sudah selesai, tapi karna Perang Dunia kesatu masih berkecamuk hebat, ia belum bisa kembali ke Hindia Belanda. Baru Juli 1919, Suwardi bisa meninggalkan negeri Belanda. Segera setelah tiba di tanah air, Suwardi terlibat lagi dalam pergerakan. Kali ini ia berada di Semarang serta aktif menulis dalam Persatoean Hindia yang lekas menggiringnya ke penjara hingga tahun 1921.

Setelahnya, ia kembali ke Yogyakarta serta mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa pada 3 Juli 1922. dia mendobrak sistem pendidikan barat serta pesantren serta mengajukan sistem pendidikan nasional. dia juga lekas mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan agar dekat dengan rakyat. dia juga lekas memberi semboyan sistem pendidikan dalam bahasa Jawa, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Slogan yang nantinya begitu terkenal. Taman Siswa maju pesat meski riak menghadangnya. Pada tahun 1932, muncul ordonansi sekolah liar yang membatasi gerak sekolah-sekolah pribumi sampai pada pendudukan Jepang, tepatnya pada 13 Maret 1944, Taman Siswa dibubarkan serta cuma diizinkan menyelenggarakan sekolah kejuruan.

Ki Hajar Dewantara tidak serta-merta berhenti, ia ikut terlibat dalam Putera [pusat Tenaga Rakyat] bentukan Jepang serta masih aktif dalam pendidikan hingga selepas kemerdekaan Indonesia 1945, ia diangkat menjadi menteri pendidikan Indonesia [menteri pengajaran Indonesia] kesatu serta masih mengurusi lembaganya, Taman Siswa. Peran sentralnya dalam pendidikan Indonesia diakui hingga mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelahnya, dalam usia 69 tahun, ia dipanggil sang Khalik serta dimakamkan di Taman Wijaya Brata, makam milik keluarga Taman Siswa. Karena jasanya yang begitu besar, Ki Hajar Dewantara digelari Bapak Pendidikan Nasional Indonesia serta hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Tujuh bulan selepas kepergiannya, presiden Soekarno lekas memberi gelar pahlawan kemerdekaan Indonesia kepada Ki Hajar Dewantara.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel