Perjanjian Oslo Serta Proses Perdamaian Arab-Israel

Pada 13 September 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin serta Yasser Arafat dari  Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menandatangani Deklarasi Prinsip tentang Pengaturan Pemerintahan Sendiri Interim, yang biasa disebut selaku "Persetujuan Oslo," di Gedung Putih. Israel menerima PLO selaku wakil rakyat Palestina, serta PLO meninggalkan terorisme serta mengakui hak Israel buat hidup dalam damai. Kedua belah pihak sepakat kalau Otoritas Palestina (PA) bakal dibentuk serta bertanggung jawab mengatur di Tepi Barat serta Jalur Gaza selama periode lima tahun. Kemudian, pembicaraan status permanen  tentang masalah perbatasan, pengungsi, serta Yerusalem bakal diadakan. Sementara Presiden Bill Clinton memainkan peran yang terbatas dalam mewujudkan Kesepakatan Oslo, ia bakal menginvestasikan sejumlah besar waktu serta sumber daya buat membantu Israel serta Palestina mengadakan perjanjian tersebut. Pada dikala Clinton meninggalkan jabatannya, bagaimanapun, proses perdamaian Sudah kandas, serta babak baru kekerasan Israel-Palestina Sudah dimulai.
Presiden Clinton, Yitzhak Rabin, serta Yasir Arafat pada upacara penandatanganan buat Kesepakatan Oslo, 13 September 1993. (William J. Clinton Presidential Library)
Pemerintahan Clinton serta Proses Perdamaian Arab-Israel, 1993–1996

Pemerintahan Clinton awalnya tidak menjadikan perdamaian Israel-Palestina selaku prioritas. Clinton serta para penasihatnya percaya kalau terobosan diplomatik di jalur Israel-Suriah bakal lebih mungkin, serta kalau para pemimpin Israel bakal merasa lebih gampang secara politik buat mundur dari Dataran Tinggi Golan daripada mundur dari Tepi Barat. Memilih kesepakatan Israel-Suriah, mereka beralasan, juga bakal mengarah pada perjanjian Israel-Lebanon, serta membantu mengisolasi Irak serta Iran, lawan utama dari proses perdamaian. Para pejabat AS diberi penjelasan tentang perundingan rahasia  orang-orang Israel serta Palestina mulai di Oslo pada Desember 1992, tetapi tidak berusaha buat terlibat di dalamnya.

Amerika Serikat tidak memainkan peran utama dalam negosiasi yang mengarah pada perjanjian perdamaian Israel-Yordania Oktober 1994, meskipun Clinton memberikan dukungannya dengan menjadi tuan rumah, Raja Hussein serta Rabin di Washington serta mendesak Kongres buat memaafkan utang Yordania. AS juga tidak memainkan peranan penting dalam negosiasi yang mengarah pada Perjanjian Kairo bulan Mei 1994, yang menyelesaikan penarikan Israel dari sebagian besar Gaza serta Jericho, atau Perjanjian Taba (atau "Oslo II") pada September 1995. Perjanjian terakhir membagi Tepi Barat menjadi wilayah terpisah di bawah kendali Israel, kontrol Palestina, serta tanggung jawab militer Israel dengan administrasi sipil Palestina, masing-masing. Oslo II juga menyebutkan ketentuan buat pemilihan, urusan sipil / hukum, serta kerja sama bilateral Israel-Palestina lainnya dalam mermacam masalah. Karena Kesepakatan Oslo tidak memberikan tanggung jawab pemantauan Amerika Serikat, pemerintahan Clinton menemukan dirinya memiliki peranan lebih  besar  dengan bantuan ekonomi serta bantuan keamanan terhdap otoritas Palestina.

Di lintasan Israel-Suriah, pemerintahannya bekerja lebih keras, tetapi dengan sedikit hasil. Clinton, Menteri Luar Negeri Warren Christopher , serta Koordinator Timur Tengah Khusus, Dennis Rossmencoba membangun janji Rabin pada bulan Agustus 1993 buat menarik sepenuhnya dari Golan Apabila Suriah menyetujui perdamaian penuh serta pengaturan keamanan yang diperlukan. Pada 1994, perundingan-perundingan ini terhenti karna definisi yang berbeda dari Israel serta Suriah tentang "penarikan penuh." Para Suriah bersikeras kalau Israel perlu mundur ke garis "4 Juni 1967,"  dikala mereka Sudah mengendalikan kantong tanah di pantai timur laut dari Laut Galilea, sumber air utama Israel.

Orang-orang Israel mau mundur ke perbatasan internasional tahun 1923, yang bakal meninggalkan Laut Galilea di bawah kedaulatan mereka. Juli itu, Rabin mengindikasikan kepada Christopher kalau Israel bakal mundur ke garis 4 Juni Apabila Suriah memenuhi kebutuhan lainnya, membuka jalan bagi pembicaraan antara perwira militer Israel serta Suriah. Namun, negosiasi ini akhirnya macet apakah Israel dapat mempertahankan stasiun peringatan dini di Golan, serta juga menjadi kontroversial politik di Israel. Dengan demikian Rabin memilih buat menangguhkan mereka sampai setelah pemilihan Israel pada tahun 1996. 

Keruntuhan Oslo, 1996-2000
Pada November 1995, Rabin dibunuh oleh Yigal Amir , seorang Israel yang menentang Persetujuan Oslo atas dasar agama. Pembunuhan Rabin diikuti oleh serangkaian serangan teroris oleh Hamas, yang merongrong dukungan buat Partai Buruh dalam pemilihan Mei 1996 Israel. Perdana Menteri baru Binyamin Netanyahu berasal dari Partai Likud, yang secara historis menentang kenegaraan Palestina serta menarik diri dari wilayah-wilayah pendudukan.

Khawatir kalau proses perdamaian bisa menjadi ambruk, pemerintahan Clinton menyertakan diri lebih aktif dalam perundingan Israel-Palestina. Pada bulan Januari 1997, setelah mediasi AS yang intensif, Israel serta Palestina menandatangani Protokol Hebron, yang menyediakan buat transfer sebagian besar Hebron ke kontrol Palestina. Pada Oktober 1998, Clinton menjadi tuan rumah Netanyahu serta Arafat di Perkebunan Sungai Wye, di mana mereka menegosiasikan sebuah perjanjian yang menyerukan penarikan Israel lebih lanjut dari Tepi Barat. Berkaitan dengan implementasi Memorandum Wye, bagaimanapun,  hal tersebut menjatuhkan pemerintahan Netanyahu pada Januari 1999.

Dalam pemilihan Mei 1999 Israel , Ehud Barak Partai Buruh secara meyakinkan mengalahkan Netanyahu. Barak memperkirakan kalau Dia bisa mencapai kesepakatan dengan Suriah serta Palestina dalam 12 hingga 15 bulan, serta berjanji buat menarik pasukan Israel dari Libanon selatan. Pada bulan September, Barak menandatangani Memorandum Sharm al-Syaikh dengan Arafat, yang berkomitmen kedua belah pihak buat memulai negosiasi status permanen. Namun, putaran pertama pertemuan tidak mencapai apa-apa, serta pada bulan Desember Palestina menangguhkan pembicaraan mengenai pembangunan permukiman di wilayah-wilayah pendudukan.

Barak kemudian fokus pada Suriah. Pada bulan Januari 2000, delegasi Israel, Suriah, serta AS bersidang di Virginia Barat buat pembicaraan damai. Negosiasi ini kandas dikala Barak menolak buat menegaskan kembali ikrar Rabin buat mundur ke garis 4 Juni 1967, dengan alasan kalau tidak ada konsesi yang ditawarkan oleh delegasi Suriah selaku imbalan dapat dianggap final, karna Presiden Suriah Hafiz al-Asad tidak hadir. Pertemuan berikutnya antara Clinton serta Asad di Jenewa gagal menghasilkan perjanjian Israel-Suriah.

Barak kemudian menarik pasukan Israel secara sepihak dari Libanon serta kembali ke jalur Palestina. Atas desakan perdana menteri, Clinton mengadakan pertemuan puncak di Camp David pada Juli 2000, di mana dia, Barak, serta Arafat berusaha mencapai kesepakatan akhir di Tepi Barat serta Jalur Gaza. Catatan berbeda tentang Kenapa Camp David gagal, tetapi jelas kalau meskipun ada konsesi tambahan oleh Barak, orang Israel serta Palestina tetap sangat berselisih mengenai perbatasan, Yerusalem, serta apakah Israel bakal mengakui "hak pengembalian" para pengungsi Palestina. Pertemuan berakhir tanpa penyelesaian; Clinton  menyalahkan Arafat atas kegagalannya.

Pada tanggal 28 September, kerusuhan meletus setelah kunjungan pemimpin Partai Likud Ariel Sharon ke Temple Mount, serta lekas meningkat menjadi gelombang kekerasan Israel-Palestina yang diketahui selaku Intifada al-Aqsa. Pada bulan Desember 2000, Clinton mengajukan proposal sendiri buat perjanjian Israel-Palestina. Pada titik ini, bagaimanapun, presiden Sudah meninggalkan jabatannya,  serta kekerasan Israel-Palestina terus berlanjut.

Dengan demikian, pada akhir tahun 2000, prospek mengakhiri konflik Arab-Israel tampak lebih jauh daripada delapan tahun sebelumnya. Pemerintahan Clinton Sudah membantu memfasilitasi perdamaian Israel-Yordania serta meletakkan dasar bagi pemerintahan sendiri Palestina. Secara lebih luas, negosiasi tahun 1990-an membantu Israel, Palestina, serta Suriah memutuskan buat memiliki mermacam hubungan  diplomatik serta membangun dasar buat apa mungkin perdamaian Arab-Israel yang komprehensif. Tetapi kedepannya penyelesaian konflik Arab-Israel tetap sulit dipahami.

sumber: history.state.gov

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel